Opini

Menuju Pemilu 2024 Yang Berkualitas

Oleh: Wandyo Supriyatno

(Ketua Divisi Sosdiklih Parmas & SDM KPU Kabupaten Klaten)

Pemilihan Umum di Indoensia, yang dimulai dari tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan terakhir 2019, menjadi catatan sejarah dan menjadi pembelajaran kepada seluruh anak bangsa ini, khususnya penyelenggara Pemilihan Umum (KPU), sebagaimana amanah Pasal 22E (5) UUD 1945 untuk selalu meningkatkan kualitas penyelenggaraan, semenjak tahap awal  sampai pada hasil akhir Pemilihan umum.

Diperlukan waktu yang panjang untuk menyelenggarakan Pemilihan umum 2024 saat ini, minimal 20 bulan sebelum hari pemungutan suara, dan jika dihitung sampai pelaksanaan pelantikan Presiden terpilih saat Pemilihan Umum 20224, maka tahapan dimulai semenjak 14 Juni 2022 sampai 20 Oktober 20024, hampi mencapai 28 bulan, alias 2 Tahun lebih 4 bulan. Waktu yang sangat lama dan panjang jika dilihat dari sisi waktu pelaksanaan  periode Pemerintahan dengan pola 5 tahunan. Artinya, hampir setengah masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo, separuhnya akan dipenuhi dengan hiruk pikuk perwujudan demokrasi (Pemilihan Umum). Sistem demokrasi yang wajib dilakukan oleh pemerintah sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945 dalam rangka untuk terus melestarikan keberlangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Menarik, apa yang disampaikan oleh Yang Terhormat Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo, ketika KPU RI beraudiensi di Istana negara, dalam arahannya yang dituangkan dalam 6 (enam) hal Pesan Presiden, salah satunya beliau berpesan agar; “ Seluruh jajaran KPU, baik KPU RI, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, hingga segenap penyelenggara pemilu di tingkat KPPS, agar menjaga dan meningkatkan kualitas pemilu”.

Pesan itu sarat dengan tantangan dan perlu kerja keras semua orang yang tergabung dalam penyelenggara Pemilihan Umum sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggara pemilu sebagaimana tercantum dalam pasal pasal di Undang-Undang Nomor  7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang sudah kita pahami bersama.

Ada beberapa syarat atau indikator pemilu 2024 disebut meningkat kualitasnya, antara lain; meningkatnya partisispasi masyarakat, meningkatnya kualitas pendidikan pemilih dan meningkatnya kualitas tata kelola kepemiluan di lingkungan KPU di seluruh wilayah NKRI.

Meningkatnya Partisipasi masyarakat, dimaknai sebagai bentuk partisipasi dan keikutsertaan masyarakat dalam rangka menyukseskan semua tahapan pemilu, terutama pada saat tahapan Kampanye dan tahapan Pemungutan Suara. Diharapkan masyarakat mengikuti kegiatan kampanye yang pada pemilu tahun 2024 direncanakan selama 75 hari. Selama tahapan tersebut, diharapkan semua masyarakat pemilih, yang sudah mempunyai hak pilih, aktif untuk mencari dan mendapatkan informasi yang berkaitan tentang visi dan misi partai peserta pemilu, rekam jejak para calon angggota legislatif, calon Presiden, rekam jejak partai Politik serta semua hal yang diperlukan oleh masyarakat pemilih sebelum menentukan hak suaranya di bilik suara, 14 Februari 2024 yang akan datang.

Partisipasi politik masyarakat (society participation) mempunyai arti sangat penting  di negara-negara demokratis, karena tingkat partisipasi  politik masyarakat dapat dipakai sebagai acuan untuk menilai tingkat dukungan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah (government of policy). Bahkan dapat dikatakan bahwa tingkat partisipasi politik masyarakat akan menentukan apakah suatu pemerintah legitimated atau tidak. Besarnya partisipasi masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh tingkat kesadaran hukum dan politik masayarakat dalam suatu negara.

Partisipasi politik sering diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat secara aktif dalam kehidupan politik yang mencakup kegiatan memilih pimpinan negara dan turut nmempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy) dengan cara memberikan suara dalam Pemilu, menghadiri rapat-rapat terbatas, tertutup, rapat umum, menjadi anggota partai politik, atau kelompok kepentingan tertentu, mengadakan hubungan dengan pejabat atau anggota parlemen, dan sebagaimananya (Miriam Budiharjo;”Partisipasi dan Partai Politik, sebuah bunga rampai, Gramedia, Jakarta,1981,hal 1). Partisipasi Politik biasanya dilakukan warga negara secara perseorangan maupun kelompok dengan maksud ingin mempengaruhi pembuatan keputusan/kebijakan pemerintah. Partisipasi politik dapat dilakukan secara; terorganisir atau spontan, mantap  atau sporadic, damai atau kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif. Dalam kaitan ini, Huntington dan Nelson, menyatakan: “ By political participation we mean activity  by private citizen  desihned to influence government decition making. Participation my be individual or collective, organized or spontaneous,sustained or sporadic, peaful or violent,legal or illegal, efffetive or ineffective” (Samuel P Huntiington & Joan M. Nelson,” No Easy Choice Political participation in Developing Countries, Cambridge , Harvard University Press, 1977)

Paralel dengan kesadaran hukum masyarakat, maka ada kesadaran lain yang mempengaruhi partisipasi politik masyarakat, yaitu kesadaran politik. Tingkat kesadaran politik masyarakat,  akan menentukan bentuk dan corak tanggapan/respons masyarakat terhadap kebijakan publik. Senada  dengan kesadaran hukum, kesadaran politik  meliputi pengetahuan tentang  hak-hak dan kewajiban politik, penghayatan  terhadap hak hak dan kewajiban politik, ketaatan terhadap aturan dalam kehidupan berpolitik.

Bisa kita gambarkan secara nyata, bahwa partisipasi masyarakat atau respons masyarakat terhadap implikasi pembangunan  dan kebijakan publik merupakan suatu yang pasti terjadi di sebuah negara yang menganut azas demokrasi. Semakin besar partisipasi masyarakat, akan semakin meningkat pula kualitas demokrasi yang dihasilkan karena partisipasi dan respons  masyarakat haruslah didasarkan pada kesadaran hukum dan kesadaran politik yang tinggi agar partispasi dan respons masyarakat bersifar konstruktif dan bertanggung jawab. Artinya, masyarakat berpatisipasi memilih dalam Pemilu didasarkan pada alasan-alasan yang rasional, tidak pragmatis dan semata-mata demi untuk mencapai tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat yang adil makmur, berdasarkan Pancasila dan                         UUD 1945, serta didasarkan pada ketaatan pada regulasi, rule of the game dan norma norma lain yang mengikat kita, sehingga partispasi masyarakat sudah mengarah kepada partispasi masyarakat yang subtansial, tidak semata-mata prosedural saja. Dalam implementasinya di Pemilihan Umum,  kita mengajak Calon dan masyarakat untuk menjauhi perbuatan money politic (politik uang) dan black campaig (kampanye hitam). Karena perbuatan perbuatan terebut merupakan kejahatan politik.

Pemilu 2019, partsipasi masyarakat mencapai angka diatas 89% dari target 75,5% angka nasional. Dan jika target angka partisipasi masyarakat pada Pemilu 2024 yang akan datang masih sama pada pemilu 2019, maka sangat mungkin target angka partisispasi pemilih akan tercapai. Hal ini bisa dilihat dari dua peristiwa hajatan Pemilihan, yaitu Pemilu 2019 yang mencapai angka nasional diatas 80% dan Pilkada 2020 yang juga mencapai angka diatas 80%. Itu saja, jumlah pemilih yang tidak ditemukan, dan mengembalikan kartu undangan memilih tetap dihitung sebagai pemilih potensial. Jika hal tersebut dipakai sebagai variabel pengurang DPT, maka tingkat partisipasi masyarakat bisa mendekati angka 90%.

Pemilihan umum yang berkualitas linier dengan pemilihan umum yang demokratis. Sebab, pemilihan umum yang tidak demokratis menjadikan proses tidak bermakna dan tidak berkualitas. Menurut Axel Hadenius (1992), suatu pemilihan umum dapat dikatakan sungguh-sungguh demokratis apabila memenuhi tiga kriteria, yatni(1) keterbukaan;(2) ketepatan; dan(3) elektifitas. (Axel Hadenius, Democracy and Development, (Cambridge: Cambridger University Press,1992). Terbuka berarti pemilu harus bersifat terbuka bagi setiap warga Negara. Prinsip ini dikenal dengan hak memilih universal (universal suffrage). Ketepatan mengandung arti bahwa  segala proses yang berkaitan dengan Pemilu, mulai dari pendaftaran partai politik peserta pemilu, verifikasi partai politik, kampanye, pelaksanaan pemungutan suara, sampai perhitungan suara, harus dilakukan secara tepat dan proporsional. Semua yang terlibat dalam pemilu harus mendapatkan perlakukan hukum  yang sama (equality before the law). Elektifitas  berarti jabatan politik harus diisi semata-mata melalui pemilu, tidak dengan cara-cara lain, seperti pengangkatan dan penunjukan.

Dengan demikian, maka untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas, diperlukan kerjasama seluruh komponen bangsa yang terlibat langsung maupun tidak langsung atas keberlangsungan pemilu tersebut. Tidak hanya KPU, tetapi seluruh stakeholder bangsa dan Negara ini memikul tanggungjawab yang sama sama sesuai porsinya masing-masing.

Meningkatkan angka partispasi masyarakat dalam Pemilu merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh KPU dan jajarannnya sampai ke Kabupaten/Kota. Dan ini tugas berat yang harus dijalankan dan diperlukan banyak tindakan agar target angka partisipasi pemilu 2024 bisa tercapai, sebagaimana pemilu 2019 yang lalu. Menggerakkan semua semua segmen masyarakat, membentuk relawan demokrasi, melakukan sosialisasi yang masih, pendidikan pemilih yang terstruktur, komprehensif, tepat sasaran dan tepat waktu. Sosialisasi, pendidikan Pemilih dan Tatakelola Pemilihan Umum yang semakin baik dan meningkat kualitasnya, akan secara bersama-sama akan bisa menciptakan pemilihan umum yang lebih berkualitas. Berkualitas dari sisi proses dan berkualitas dari sisi hasil. Berkualitas tidak hanya secara prosedural, tetapi juga secara subtansial.

Sekian dan terima kasih. 

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 2,736 kali