Opini

UJIAN INTEGRITAS ASN PENYELENGGARA PEMILU

UJIAN INTEGRITAS ASN PENYELENGGARA PEMILU Oleh: Nurhidayati (Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro)   Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia merupakan aktivitas demokrasi sebagai wadah menampung aspirasi dan implementasi kebijakan Pemerintah agar kehendak rakyat dapat terwujud secara menyeluruh. Penyelenggaraan Pemilu secara berkala merupakan suatu kebutuhan mutlak sebagai sarana demokrasi yang menjadikan kedaulatan rakyat sebagai inti dalam kehidupan bernegara. Proses kedaulatan rakyat yang diawali dengan Pemilu dimaksudkan untuk menentukan asas legalitas, asas legitimasi dan asas kredibilitas bagi suatu pemerintahan yang didukung oleh rakyat. Penguasa legislatif dan pemerintahan yang dapat diterima oleh rakyat dibutuhkan penyelenggara Pemilu yang memiliki komitmen dan konsisten menyelenggarakan Pemilu yang demokratis dan berkualitas. Menurut kajian ACE Project, Pemilu berintegritas merupakan tanggungjawab bersama antara penyelenggara, pemerintah, peserta Pemilu dan pemilih yang menyadari pentingnya moral dan etika. Kofi Annan menyatakan bahwa Pemilu berintegritas berdasar pada prinsip demokratis terhadap hak pilih universal, kesetaraan, professional, imparsial dan transparan dari seluruh siklus pemilu. Pemilu yang berintegritas akan terwujud jika penyelenggara Pemilu tidak memihak kepada siapapun yang menjadi bagian dari kompetisi. Salah satu aspek dalam lingkup impartiality adalah tidak menunjukan sikap dan tindakan yang mengarah pada keberpihakan terhadap peserta Pemilu di semua tahapan Pemilu. Pasca orde baru, Indonesia telah menyelenggarakan pemilu dengan mengedepankan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil secara berkala setiap lima tahun sekali. Asas- asas tersebut perlu diperkuat agar muncul kepercayaan yang kuat bahwa Pemilu telah dilangsungkan sesuai prosedur dan kaidah demokrasi. Integritas pemilu dapat terwujud dengan sinergitas pihak- pihak yaitu pemilih, peserta dan penyelenggara Pemilu yang secara bersama- sama berjalan pada setiap tahapan sesuai dengan norma yang berlaku. Keterlibatan rakyat secara langsung untuk menggunakan hak politik sebagai pemilih merupakan implementasi dari asas langsung. Rakyat yang dimaksud merupakan seluruh warga Negara yang memenuhi syarat sebagai pemilih dan terdaftar dalam daftar pemilih tetap. Aparatur Sipil Negara (ASN) memperoleh hak yang sama sebagai warga Negara untuk menggunakan hak memilih pada setiap penyelenggaraan Pemilu. Posisi ASN menjadi strategis dalam pelaksanaan Pemilu. ASN penyelenggara pemilu dapat berperan ganda sebagai pemilih dan penyelenggara pemilu. Penyelenggara Pemilu yang berintegritas mengandung unsur penyelenggara yang jujur, transparan, akuntabel, cermat dan akurat dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya Setiap penyelenggaraan pemilu selalu diwarnai adanya dugaan tindakan yang melukai netralitas ASN. Aduan dari peserta Pemilu maupun masyarakat diterima oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai penyelenggara Pemilu yang mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan terhadap pelanggaran yang terjadi di setiap tahapan. Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2014 dijelaskan bahwa dalam menjalankan tugasnya seorang ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan maupun partai politik. Dengan demikian jelas bahwa ASN dilarang bergabung dalam keanggotaan partai politik. Undang- undang tersebut juga mengatur tugas ASN adalah melaksanakan kebijakan publik yang dibuat berdasarkan peraturan perundang- undangan. ASN juga bertugas memberikan pelayanan kepada publik secara profesional dan berkualitas serta mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seorang ASN hendaknya memahami bahwa salah satu kewajiban yang harus dipenuhi adalah menunjukkan integritas baik dalam sikap, perilaku, ucapan dan tindakan dalam melaksanakan tugas. Kemampuan untuk tidak memihak maupun menguntungkan salah satu kelompok merupakan perwujudan integritas ASN. Keberpihakan kepada kelomPok tertentu secara lisan melalui ucapan, maupun tulisan akan menodai integritas. ASN yang tidak berintegritas berdampak pada kesejahteraan rakyat yang seharusnya menjadi perhatian utama. ASN yang tidak profesional dalam melaksanakan tugas menyebabkan terjadinya diskriminasi pelayanan kepada publik sehingga rakyat tidak mendapatkan Pelayanan yang memadai. Pengaruh dan intervensi dari pihak luar akan terbebas jika ASN memegang teguh integritasnya. Dunia kepemiluan di Indonesia mengenal pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. Jenis pelanggaran yang sering terjadi di Indonesia dengan melibatkan ASN didalamnya berdasarkan pengalaman penyelenggaraan Pemilu antara lain adalah penyalahgunaan keuangan yang bersumber dari APBD maupun APBN yang merupakan kewenangan pemerintah dalam melaksanakan kegiatan penyelenggaraan Pemilu. Hal ini dapat dilakukan oleh pejabat maupun pihak tertentu yang berada dalam pemerintahan untuk menguntungkan pihak tertentu. Pelanggaran tersebut dapat dilakukan oleh ASN penyelenggara Pemilu maupun ASN diluar penyelenggara Pemilu. Jenis pelanggaran lain yang dapat dilakukan ASN adalah money politics dimana terjadi aktivitas pemberian uang, barang atau jasa yang bisa dikonversi menjadi uang dari seseorang kepada penyelenggara Pemilu. Jenis pelanggaran ini marak terjadi setiap penyelenggaraan Pemilu. Hal ini memungkinkan seorang ASN melakukan money politics karena kedudukannya yang akan memberi keuntungan salah satu pihak dalam kontestasi. Seorang penyelenggara Negara yang menerima suap untuk melakukan tindakan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya juga menjadi pelanggaran yang menjadi aduan kepada peradilan pemilu. Kasus yang lain adalah memberikan perlakuan istimewa pada salah satu pihak. Tindakan tersebut memberikan keuntungan pada satu sisi, namun di sisi yang lain akan merugikan. Pelanggaran yang juga sering diadukan pada lembaga pengawas Pemilu yaitu adanya ASN yang terlibat pada suatu kegiatan baik resmi maupun tidak resmi yang menyebabkan terjadinya konflik kepentingan. Menyatakan bentuk dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi salah satu aduan yang sering disampaikan kepada pengawas Pemilu. Merujuk pada Undang- undang tentang Aparatur Sipil Negara, dimana ASN yang terdiri dari PNS dan PPPK berperan sebagai perencana, pelaksana dan pengawas penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan nasional, maka ASN dalam penyelenggaraan Pemilu memiliki peran ganda sebagai pelaksana kebijakan dan pelayanan publik. ASN berkewajiban memberikan layanan secara administratif sebagai pelaksana pemerintahan yang wajib menjalankan setiap kebijakan. Hal ini juga mempermudah pemerintah sebagai pemilik kebijakan untuk melakukan kontrol dan mempertanggungjawabkan keputusan yang ditetapkan. Regulasi sudah disediakan untuk menjadi acuan bagi ASN dalam melaksanakan seluruh tugas sebagai penyelenggara Pemilu. ASN yang bekerja sebagai penyelenggara pemilu diharapkan dapat mendukung pelaksanaan pemilu yang berintegritas dan dapat diterima oleh seluruh pemangku kepentingan.  

Demokrasi Daging Sapi: Anomali Pemilu Indonesia

Oleh: Siti Ulfaati KPU Kabupaten Demak Sistem demokrasi di Indonesia mempunyai substansi bahwa rakyat adalah pemilik kedaulatan yang sah di negeri ini, sehingga untuk mewujudkannya dibutuhkan sistem demokrasi prosedural yang berkaitan dengan tata cara dan aturan demokrasi. Demokrasi ini mempunyai kewenangan secara prosedur dan dilindungi oleh undang-undang. Salah satu cara menegakkan sistem demokrasi prosedural adalah melalui Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilu merupakan wujud nyata dari partisipasi demokrasi tak langsung masyarakat untuk menyusun pemerintahan. Menurut UU No 12 tahun 1945, Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dengan tujuan. Pertama, memilih wakil rakyat dan wakil daerah. Kedua, membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat. Ketiga, keduanya dilakukan dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana diamanatkan. Demokrasi Dagang Sapi Walaupun Pemilu di Indonesia sudah diadakan berkali-kali, tetapi pada kenyataanya prosedur rakyat sebagai pemegang sah kekuasaan di negeri ini masih seringkali terabaikan. Fungsi partai politik sebaga salah satu alat untuk mencerdaskan perilaku politik masyarakat acapkali hanya menjadi pemanis semata. Peran ideologisasi parpol malah semakin bias di era millennium. Ajang kongres atau munas seringkali dibarengi dengan isu money politic. Sementara Parpol dengan model komando atau penunjukan langsung dari pusat malahan menciptakan suatu rezim baru yang tak tergoyahkan. Akhirnya rakyat hanya menjadi obyek Pemilu. Setiap menjelang masa kampanye, rakyat yang seharusnya menjadi subyek pencerdasan hanya dibuai oleh janji manis kampanye. Bagaikan penjual madu yang menawarkan dagangannya, seribu satu cara dilakukan oleh calon legistatif dan eksekutif agar konstituen mau memilihnya. Yang lebih mengherankan menjelang hari-H Pemilu, tiba-tiba banyak orang Indonesia menjadi “sabar”. Mereka rela berjam-jam mengantri di bank untuk menukarkan uang. Pecahan nominal seribu, lima ribu dan sepuluh ribu menjadi uang yang paling susah dicari. Salah satu ambivalensi Pemilu yang paling merubah sejarah sistem kepartaian adalah keputusan Makamah Konstitusi (MK)  No. 22-24/PUU-VI/2008 tentang perkara permohonan pengujian UU No.  10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif dan Putusan MK adalah suara terbanyak. Jika kita ambil sisi positifnya, keputusan ini semakin menguatkan sistem demokrasi bahwa calon yang terpilih adalah pengumpul suara terbanyak, bukan lagi berdasarkan nomor urut partai, tetapi sisi negatifnya akhirnya stigma politisi kutu loncat menjadi mewabah. Banyak calon dengan pengalaman ideologisasi yang minim tiba-tiba menjadi pemenang hanya dikarenakan mereka mempunyai modal kampanye yang banyak, sementara pengurus partai yang memulai kaderisasi dari tingkat ranting menjadi terpinggirkan, padahal mau tak mau harus diakui, merekalah yang paling memahami tentang ideologi partai, tetapi hanya karena tidak punya modal capital yang cukup, akhirnya hanya menjadi penggembira semata. Partai pun semakin kehilangan ideologinya dan anya untuk memenuhi target suara mereka menggunakan cara-cara instan untuk menggaet pemilih. Pengusaha dengan modal kapital kuat dan artis dengan popularitas tinggi menjadi target utama. Akibatnya banyak kader partai potensial akan semakin tersingkir. Bukannya saya tidak sepakat ketika pengusaha atau artis menjadi calon eksekutif atau legistatif, tetapi jikalau mereka belum mendapatkan pemaknaan ideology dari partai pengusungnya seringkali kebijakan-kebijakan yang diambil hanya berdasarkan finansial atau popularitas semata. Karena bagi rakyat Indonesia, memahami ideologi dibutuhan proses yang lama. Itulah kenapa ideologi sosialisme Marxis atau Marhaennya bung Karno tidak akan lekang dimakan waktu. Generasi Muda yang Hiperaktif Generasi mudapun menjadi obyek doktrinasi pemilu. Sifat generasi muda Indonesia yang responsif tetapi tidak mau untuk mengecek kembali kebenaran suatu berita menjadikan mereka sebagai wajan besar tembat penggorengan isu-isu yang tidak bertanggung jawab. Apalagi sekarang akses informasi sudah menyebar sampai ke pelosok negeri. Setiap orang kapanpun dan dimanapun bisa dengan mudah mendapatkan informasi lewat internet, akhirnya media sosial menjadi ajang peperangan tersendiri. Penduduk Indonesia pun tergolong aktif sebagai konsumen media sosial. Berdasarkan penelitian Semiocast dan Social Baker yang merilis bahwa jumlah pemilik akun Twitter menempati urutan kelima dunia dengan jumlah 19,5 juta sementara Facebook menduduki peringkat 4 dengan jumlah 51 juta. Sungguh pasar yang menarik untuk melegitimasi suatu isu. Viral-viral yang bernada kampanye hitam sudah menjadi makanan sehari-hari di media sosial, hujat menghujat calon kandidat langsug ditanggapi dengan nada satir. Bahkan meme-meme yang tidak bertanggungjawab mendapatkan perhatian tersendiri. Bentuk pemahaman demokrasi mempunyai pengertian sebagai sarana untuk mencari musuh baru, karena bagaimanapun juga banyak akun anonim yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.    Realitas Pemilu Pelaksanaan pemilu yang akrab disebut ajang Demokrasi prosedural hanya menjadi romantika pesta semata, hingar binger tetapi tidak mempunyai makna yang mendalam. Pemilu bagi sebagian kalangan rakyat justru melahirkan sikap yang acuh. Sebab, hajatan politik ini hanya menjadi ritual yang tak mewakili kepentingan eksistensi rakyat sebagai pemegang kedaulatan, jadi wajar saja jika setelah pemilu selesai mereka merasa diperalat oleh para pemegang kekuasaan yang telah mereka pilih. Mereka hanya menjadi raja ketika pemilu berjalan dan kembali menjadi budak tertindas ketika para pemangku kekuasaan sudah mengucapkan janji pelantikan. Inilah kenyataan yang selalu terulang setiap kali bangsa ini melangsungkan pesta demokrasi. Pernah dimuat di JogjakartaNews.com

Koordinasi Optimal, PDPB Maksimal

Oleh: Hastin Atas Asih KPU Kabupaten Demak   Butuh ketelatenan, keseriusan, koordinasi, kerja sama, kreativitas dan inovasi dalam melaksanakan kegiatan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan (PDPB). Dalam melaksanakan kegiatan yang bertujuan memperbarui data pemilih guna mempermudah proses pemutakhiran data pemilih pada pemilu/pemilihan ini memang membutuhkan kerja ekstra penyelenggara pemilu. Karena, kegiatan ini dilaksanakan di luar tahapan pemilu/pemilihan (post election) di mana pada masa itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten/Kota sedang tidak memiliki badan ad hoc baik di tingkat kecamatan maupun desa/kelurahan. PDPB merupakan salah satu sistem penyusunan daftar pemilih di Indonesia yang dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu dengan cara memperbarui data pemilih hasil pemilu/pemilihan sebelumnya secara berkelanjutan. Sistem ini dikenal dengan istilah continuous list, dan mulai diterapkan sejak tahun 2017.  Pelaksanaan sistem ini mengacu pada Pasal 204 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang berbunyi “KPU Kabupaten/Kota melakukan pemutakhiran data Pemilih berdasarkan daftar pemilih tetap Pemilu terakhir yang dimutakhirkan secara berkelanjutan”. Di Undang-Undang tentang Pemilu tersebut juga diatur tentang kewajiban bagi KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk melaksanakan pemutakhiran dan memelihara data pemilih secara berkelanjutan dengan memperhatikan data kependudukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara berurutan aturan tersebut termaktub pada pasal 14 huruf (l), pasal 17 huruf (l), dan pasal 20 huruf (l). Terkait teknis pelaksanaan PDPB awalnya diatur dalam Surat Dinas KPU RI Nomor 132/PL.02-SD/01/KPU/II/2021 perihal Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan Tahun 2021 sebagaimana telah diubah dengan Surat Dinas KPU Nomor 366/PL.02-SD/01/KPU/IV/2021. Dalam surat dinas tersebut disebutkan bahwa PDPB dilakukan secara berkala dengan instansi-instansi terkait, di antaranya instansi pemerintah daerah yang menangani administrasi kependudukan, kematian/pemakaman, TNI/Polri, pengadilan setingkat dan pada layanan data pemilih di tingkat kabupaten/kota. Kemudian KPU menetapkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan.  Penetapan PKPU ini pada intinya mempertegas surat dinas sebelumnya, dan secara teknis diatur lebih rinci. Pada PKPU 6 Tahun 2021 diatur bahwa pelaksanaan PDPB berjenjang dilakukan dengan cara memutakhirkan dan memelihara data pemilih secara berkesinambungan dengan memperhatikan data kependudukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam proses pelaksanaan PDPB dilaksanakan rapat koordinasi dengan lembaga terkait seperti Bawaslu, Kementrian/Lembaga/Instansi lain (instansi pemerintah daerah yang menangani administrasi kependudukan, kematian/pemakaman), TNI, dan POLRI. Rapat koordinasi ini dilaksanakan secara berkala minimal enam bulan sekali untuk KPU dan KPU Provinsi, dan minimal tiga bulan sekali untuk KPU Kabupaten/Kota. Pengaturan tentang perlu dilaksanakannya kegiatan rapat koordinasi adalah hal yang sangat penting. Karena pada kegiatan tersebut akan disampaikan hasil rekapitulasi PDPB serta akan disampaikan masukan terkait data-data yang dibutuhkan untuk PDPB. Seperti masukan pemilih baru yang dapat berasal dari pemilih pemula di mana yang bersangkutan pada saat pendataan sudah memasuki usia 17 tahun, maupun pemilih pemula karena alih status dari TNI/POLRI menjadi pensiunan. Begitu pula untuk pemilih tidak memenuhi syarat (TMS) karena meninggal dunia, pemilih yang berubah status menjadi anggota TNI atau POLRI, serta pemilih yang dicabut hak pilihnya. Selain itu, pemilih yang pindah domisili. Di PKPU Nomor 6 Tahun 2021 juga diatur tentang rekapitulasi PDPB tingkat KPU kabupaten/kota. Dijelaskan di Pasal 22 ayat 2 bahwa KPU Kabupaten/Kota menyampaikan data rekapitulasi PDPB dalam rapat koordinasi PDPB setiap tiga bulan. Sedangkan di Pasal 27 ayat 1 disebutkan bahwa KPU Provinsi melakukan rekapitulasi PDPB tingkat provinsi setiap bulan berdasarkan rekapitulasi PDPB dari KPU Kabupaten/Kota. Artinya, Rekapitulasi hasil PDPB dilaksanakan KPU Kabupaten/Kota setiap bulan dan selanjutnya dilaporkan ke KPU Provinsi untuk direkap di tingkat provinsi. Kemudian setiap tiga bulan dilakukan rekapitulasi kembali untuk disampaikan dalam rapat koordinasi yang dihadiri instansi-instansi terkait, di antaranya instansi pemerintah daerah yang menangani administrasi kependudukan, kematian/pemakaman, TNI/POLRI, pengadilan setingkat dan pada layanan data pemilih di tingkat kabupaten/kota. . Tak Semua Data Lengkap Teknis pelaksanaan PDPB yang diatur oleh KPU sudah sangat komprehensif. Seperti perlunya rapat koordinasi dengan instansi terkait untuk mendapatkan masukan data sebagai bahan PDPB. Pengaturan ini memang sangat dibutuhkan. Namun dalam pelaksanaannya tentu saja tidak selalu mulus. Memang beberapa lembaga atau instansi responsif dalam memberikan data yang dibutuhkan. Namun tak jarang pula beberapa instansi justru sebaliknya karena merasa kesulitan untuk memenuhi kelengkapan elemen data yang dibutuhkan KPU. Ada pula beberapa lembaga yang karena faktor kesibukan serta minimnya SDM tidak bisa memenuhi data yang dibutuhkan. Pasal 201 ayat (8) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebenarnya cukup memberikan kelonggaran bagi KPU untuk mendapatkan data sebagai bahan PDPB. Disebutkan di pasal tersebut bahwa Pemerintah memberikan data kependudukan yang dikonsolidasikan setiap enam bulan kepada KPU sebagai bahan tambahan dalam pemutakhiran data pemilih. Artinya, KPU akan mendapatkan tambahan data untuk bahan PDPB dari instansi yang menangani kependudukan setiap enam bulan. Memang rentang waktu yang diatur dalam undang-undang tersebut cukup jauh dibandingkan pelaksanaan rekapitulasi PDPB yang dilaksanakan KPU Kabupaten/Kota. Di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 disebutkan bahwa instansi yang menangani kependudukan memberikan data yang dikonsolidasikan setiap enam bulan, sedangkan KPU Kabupaten/Kota melaksanakan PDPB setiap satu bulan. Meskipun rentang waktunya cukup lama, namun apabila data tersebut disampaikan tepat waktu sebenarnya cukup membantu KPU Kabupaten/Kota dalam melaksanakan PDPB. Tetapi fakta di lapangan tak semudah itu. Alih-alih tersampaikan tepat waktu, terkadang data tersebut tidak bisa didapatkan karena ada beberapa hal yang menjadi alasan. Banyak Jalan Menuju Roma Berbagai kendala sangat berkemungkinan terjadi dalam kegiatan PDPB. Namun hal tersebut tak seharusnya membuat patah arang penyelenggara. Banyak jalan menuju roma. Kreasi, inovasi, serta gagasan perlu dicetuskan agar PDPB bisa tetap berjalan. Dengan begitu data pemilih tetap terpelihara meski tidak dalam masa tahapan pemilu/pemilihan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan di antaranya adalah dengan membentuk relawan PDPB baik di tingkat desa maupun kecamatan. Relawan PDPB tersebut dapat berasal dari mantan badan penyelenggara ad hoc pemilu/pemilihan maupun sekretariat badan penyelenggara ad hoc pemilu/pemilihan yang mayoritas berasal dari perangkat desa dan pegawai kecamatan dan biasanya langsung bersentuhan dengan lembaga yang menguasai data di wilayahnya.  Pendekatan lebih progresif juga bisa dilakukan ke beberapa lembaga, untuk memberikan pemahaman terkait data yang dibutuhkan serta membantu secara teknis apabila memang dibutuhkan. Koordinasi dengan lembaga pendidikan (SMA/SMK/MA sederajat), atau instansi yang menaungi lembaga pendidikan seperti Dinas Pendidikan atau Kementerian Agama juga perlu dilakukan karena basis pemilih pemula banyak berasal dari lembaga tersebut. Koordinasi lainnya juga bisa dilakukan ke pondok pesantren, partai politik maupun organisasi kemasyarakatan. KPU Kabupaten/Kota juga bisa melakukan sosialisasi melalui pemanfaatan papan pengumuman, website, media sosial, media massa cetak dan elektronik. Kerja sama sosialisasi PDPB dengan pemerintah daerah juga dapat dilaksanakan, seperti pengintegrasian sosialisasi PDPB dengan kegiatan yang diselenggarakan pemerintah daerah baik secara tatap muka maupun melalui media online, seperti website dan media sosial milik pemerintah daerah. Solusi Masalah DPT PDPB merupakan salah satu upaya KPU untuk menyelesaikan akar masalah Daftar Pemilih Tetap. Dengan PDPB diharapkan data pemilih dapat dipastikan kualitasnya tetap baik meskipun tidak dalam penyelenggaraan pemilu/pemilihan. Jika data pemilih hasil PDPB baik dan dibuat berdasarkan prinsip komprehensif, akurat dan mutakhir, maka ke depan akan mempermudah proses pemutakhiran data dan penyusunan daftar pemilih pada pemilu/pemilihan berikutnya. Karena itu seyogyanya kegiatan PDPB digarap secara serius dan telaten. Penguatan koordinasi juga sangat penting, karena keberhasilan PDPB tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh KPU yang notabene tidak memiliki badan penyelenggara ad hoc karena sedang tidak menyelenggarakan pemilu/pemilihan. (Penulis adalah Anggota KPU Kabupaten Demak Divisi Hukum dan Pengawasan)

Menuju Pemilu 2024 Yang Berkualitas

Oleh: Wandyo Supriyatno (Ketua Divisi Sosdiklih Parmas & SDM KPU Kabupaten Klaten) Pemilihan Umum di Indoensia, yang dimulai dari tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan terakhir 2019, menjadi catatan sejarah dan menjadi pembelajaran kepada seluruh anak bangsa ini, khususnya penyelenggara Pemilihan Umum (KPU), sebagaimana amanah Pasal 22E (5) UUD 1945 untuk selalu meningkatkan kualitas penyelenggaraan, semenjak tahap awal  sampai pada hasil akhir Pemilihan umum. Diperlukan waktu yang panjang untuk menyelenggarakan Pemilihan umum 2024 saat ini, minimal 20 bulan sebelum hari pemungutan suara, dan jika dihitung sampai pelaksanaan pelantikan Presiden terpilih saat Pemilihan Umum 20224, maka tahapan dimulai semenjak 14 Juni 2022 sampai 20 Oktober 20024, hampi mencapai 28 bulan, alias 2 Tahun lebih 4 bulan. Waktu yang sangat lama dan panjang jika dilihat dari sisi waktu pelaksanaan  periode Pemerintahan dengan pola 5 tahunan. Artinya, hampir setengah masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo, separuhnya akan dipenuhi dengan hiruk pikuk perwujudan demokrasi (Pemilihan Umum). Sistem demokrasi yang wajib dilakukan oleh pemerintah sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945 dalam rangka untuk terus melestarikan keberlangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menarik, apa yang disampaikan oleh Yang Terhormat Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo, ketika KPU RI beraudiensi di Istana negara, dalam arahannya yang dituangkan dalam 6 (enam) hal Pesan Presiden, salah satunya beliau berpesan agar; “ Seluruh jajaran KPU, baik KPU RI, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, hingga segenap penyelenggara pemilu di tingkat KPPS, agar menjaga dan meningkatkan kualitas pemilu”. Pesan itu sarat dengan tantangan dan perlu kerja keras semua orang yang tergabung dalam penyelenggara Pemilihan Umum sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggara pemilu sebagaimana tercantum dalam pasal pasal di Undang-Undang Nomor  7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang sudah kita pahami bersama. Ada beberapa syarat atau indikator pemilu 2024 disebut meningkat kualitasnya, antara lain; meningkatnya partisispasi masyarakat, meningkatnya kualitas pendidikan pemilih dan meningkatnya kualitas tata kelola kepemiluan di lingkungan KPU di seluruh wilayah NKRI. Meningkatnya Partisipasi masyarakat, dimaknai sebagai bentuk partisipasi dan keikutsertaan masyarakat dalam rangka menyukseskan semua tahapan pemilu, terutama pada saat tahapan Kampanye dan tahapan Pemungutan Suara. Diharapkan masyarakat mengikuti kegiatan kampanye yang pada pemilu tahun 2024 direncanakan selama 75 hari. Selama tahapan tersebut, diharapkan semua masyarakat pemilih, yang sudah mempunyai hak pilih, aktif untuk mencari dan mendapatkan informasi yang berkaitan tentang visi dan misi partai peserta pemilu, rekam jejak para calon angggota legislatif, calon Presiden, rekam jejak partai Politik serta semua hal yang diperlukan oleh masyarakat pemilih sebelum menentukan hak suaranya di bilik suara, 14 Februari 2024 yang akan datang. Partisipasi politik masyarakat (society participation) mempunyai arti sangat penting  di negara-negara demokratis, karena tingkat partisipasi  politik masyarakat dapat dipakai sebagai acuan untuk menilai tingkat dukungan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah (government of policy). Bahkan dapat dikatakan bahwa tingkat partisipasi politik masyarakat akan menentukan apakah suatu pemerintah legitimated atau tidak. Besarnya partisipasi masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh tingkat kesadaran hukum dan politik masayarakat dalam suatu negara. Partisipasi politik sering diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat secara aktif dalam kehidupan politik yang mencakup kegiatan memilih pimpinan negara dan turut nmempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy) dengan cara memberikan suara dalam Pemilu, menghadiri rapat-rapat terbatas, tertutup, rapat umum, menjadi anggota partai politik, atau kelompok kepentingan tertentu, mengadakan hubungan dengan pejabat atau anggota parlemen, dan sebagaimananya (Miriam Budiharjo;”Partisipasi dan Partai Politik, sebuah bunga rampai, Gramedia, Jakarta,1981,hal 1). Partisipasi Politik biasanya dilakukan warga negara secara perseorangan maupun kelompok dengan maksud ingin mempengaruhi pembuatan keputusan/kebijakan pemerintah. Partisipasi politik dapat dilakukan secara; terorganisir atau spontan, mantap  atau sporadic, damai atau kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif. Dalam kaitan ini, Huntington dan Nelson, menyatakan: “ By political participation we mean activity  by private citizen  desihned to influence government decition making. Participation my be individual or collective, organized or spontaneous,sustained or sporadic, peaful or violent,legal or illegal, efffetive or ineffective” (Samuel P Huntiington & Joan M. Nelson,” No Easy Choice Political participation in Developing Countries, Cambridge , Harvard University Press, 1977) Paralel dengan kesadaran hukum masyarakat, maka ada kesadaran lain yang mempengaruhi partisipasi politik masyarakat, yaitu kesadaran politik. Tingkat kesadaran politik masyarakat,  akan menentukan bentuk dan corak tanggapan/respons masyarakat terhadap kebijakan publik. Senada  dengan kesadaran hukum, kesadaran politik  meliputi pengetahuan tentang  hak-hak dan kewajiban politik, penghayatan  terhadap hak hak dan kewajiban politik, ketaatan terhadap aturan dalam kehidupan berpolitik. Bisa kita gambarkan secara nyata, bahwa partisipasi masyarakat atau respons masyarakat terhadap implikasi pembangunan  dan kebijakan publik merupakan suatu yang pasti terjadi di sebuah negara yang menganut azas demokrasi. Semakin besar partisipasi masyarakat, akan semakin meningkat pula kualitas demokrasi yang dihasilkan karena partisipasi dan respons  masyarakat haruslah didasarkan pada kesadaran hukum dan kesadaran politik yang tinggi agar partispasi dan respons masyarakat bersifar konstruktif dan bertanggung jawab. Artinya, masyarakat berpatisipasi memilih dalam Pemilu didasarkan pada alasan-alasan yang rasional, tidak pragmatis dan semata-mata demi untuk mencapai tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat yang adil makmur, berdasarkan Pancasila dan                         UUD 1945, serta didasarkan pada ketaatan pada regulasi, rule of the game dan norma norma lain yang mengikat kita, sehingga partispasi masyarakat sudah mengarah kepada partispasi masyarakat yang subtansial, tidak semata-mata prosedural saja. Dalam implementasinya di Pemilihan Umum,  kita mengajak Calon dan masyarakat untuk menjauhi perbuatan money politic (politik uang) dan black campaig (kampanye hitam). Karena perbuatan perbuatan terebut merupakan kejahatan politik. Pemilu 2019, partsipasi masyarakat mencapai angka diatas 89% dari target 75,5% angka nasional. Dan jika target angka partisipasi masyarakat pada Pemilu 2024 yang akan datang masih sama pada pemilu 2019, maka sangat mungkin target angka partisispasi pemilih akan tercapai. Hal ini bisa dilihat dari dua peristiwa hajatan Pemilihan, yaitu Pemilu 2019 yang mencapai angka nasional diatas 80% dan Pilkada 2020 yang juga mencapai angka diatas 80%. Itu saja, jumlah pemilih yang tidak ditemukan, dan mengembalikan kartu undangan memilih tetap dihitung sebagai pemilih potensial. Jika hal tersebut dipakai sebagai variabel pengurang DPT, maka tingkat partisipasi masyarakat bisa mendekati angka 90%. Pemilihan umum yang berkualitas linier dengan pemilihan umum yang demokratis. Sebab, pemilihan umum yang tidak demokratis menjadikan proses tidak bermakna dan tidak berkualitas. Menurut Axel Hadenius (1992), suatu pemilihan umum dapat dikatakan sungguh-sungguh demokratis apabila memenuhi tiga kriteria, yatni(1) keterbukaan;(2) ketepatan; dan(3) elektifitas. (Axel Hadenius, Democracy and Development, (Cambridge: Cambridger University Press,1992). Terbuka berarti pemilu harus bersifat terbuka bagi setiap warga Negara. Prinsip ini dikenal dengan hak memilih universal (universal suffrage). Ketepatan mengandung arti bahwa  segala proses yang berkaitan dengan Pemilu, mulai dari pendaftaran partai politik peserta pemilu, verifikasi partai politik, kampanye, pelaksanaan pemungutan suara, sampai perhitungan suara, harus dilakukan secara tepat dan proporsional. Semua yang terlibat dalam pemilu harus mendapatkan perlakukan hukum  yang sama (equality before the law). Elektifitas  berarti jabatan politik harus diisi semata-mata melalui pemilu, tidak dengan cara-cara lain, seperti pengangkatan dan penunjukan. Dengan demikian, maka untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas, diperlukan kerjasama seluruh komponen bangsa yang terlibat langsung maupun tidak langsung atas keberlangsungan pemilu tersebut. Tidak hanya KPU, tetapi seluruh stakeholder bangsa dan Negara ini memikul tanggungjawab yang sama sama sesuai porsinya masing-masing. Meningkatkan angka partispasi masyarakat dalam Pemilu merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh KPU dan jajarannnya sampai ke Kabupaten/Kota. Dan ini tugas berat yang harus dijalankan dan diperlukan banyak tindakan agar target angka partisipasi pemilu 2024 bisa tercapai, sebagaimana pemilu 2019 yang lalu. Menggerakkan semua semua segmen masyarakat, membentuk relawan demokrasi, melakukan sosialisasi yang masih, pendidikan pemilih yang terstruktur, komprehensif, tepat sasaran dan tepat waktu. Sosialisasi, pendidikan Pemilih dan Tatakelola Pemilihan Umum yang semakin baik dan meningkat kualitasnya, akan secara bersama-sama akan bisa menciptakan pemilihan umum yang lebih berkualitas. Berkualitas dari sisi proses dan berkualitas dari sisi hasil. Berkualitas tidak hanya secara prosedural, tetapi juga secara subtansial. Sekian dan terima kasih. 

Metamorfosis Penyusunan Daftar Pemilih Dalam Pemilihan Kepala Daerah Serentak Lanjutan Tahun 2020

Oleh: Maskup Asyadi Ketua KPU Kabupaten Semarang Penulis memilih kata “metamorfosa” sebagai wujud perubahan ketentuan dalam penyusunan daftar pemilih dalam rangka menuju penyusunan daftar pemilih yang lebih baik. Setiap warga negara yang telah memenuhi syarat (berumur 17 tahun atau belum 17 tahun tetapi sudah atau pernah menikah) memiliki hak untuk berpartisipasi dalam urusan pemerintahan mereka adalah salah satu pilar demokrasi. Perwujudannya adalah dalam bentuk yang paling mendasar dari partisipasi suara dalam pemilihan yang bebas, adil dan teratur. Bagi warga Negara, agar mereka dapat menggunakan hak demokratis mereka untuk memilih, penyelenggara pemilu akan membangun daftar pemilih, juga disebut pemilih yang komprehensif dan inklusif mendaftar. Daftar pemilih yang baik memastikan setiap warga negara yang memenuhi syarat terdaftar untuk memilih. Sebuah daftar pemilih memungkinkan untuk memisahkan dua fungsi yang paling penting dari otoritas penyelenggara pemilu, yaitu memverifikasi kelayakan pemilih dan mengendalikan legitimasi/sahnya proses pemungutan suara. Daftar ini juga dapat digunakan untuk beberapa tujuan misalnya sebagai pendidikan bagi pemilih, dan dapat digunakan partai politik dan kandidat untuk membantu dalam proses kampanye. Pendaftaran pemilih adalah proses verifikasi identitas pemilih potensial, dan memasukkan nama dan komponen data kependudukan mereka dalam daftar pemilih. Untuk mewujudkan pendaftaran adil, komprehensif dan inklusif, pemilih potensial harus menyadari proses pendaftaran dan memiliki kesempatan yang sama dan diberikan akses untuk mengetahui serta terlibat aktif dalam proses pendaftaran pemilih tersebut. Kampanye pendidikan pemilih menumbuhkan kesadaran yang diperlukan dengan menekankan pentingnya pendaftaran, sebagai bentuk tanggung jawab warga negara untuk terdaftar, dan menyajikan informasi tentang pentingnya daftar pemilih bagi warga yang telah memenuhi persyaratan. Pendaftaran pemilih sebenarnya merupakan kesatuan proses antara penyelenggara dengan warga potensi pemilih. Penyelenggara pemilu diberikan kesempatan untuk melaksanakan pendaftaran pemilih, sedangkan warga potensial pemilih perlu memperhatikan dan berperan aktif dalam tahapan tersebut untuk memastikan sudah tercantum dalam daftar pemilih. Hal tersebut dapat dilakukan warga dengan mengunjungi situs pendaftaran dan secara resmi dapat melakukan pendaftaran online melalui mekanisme yang telah ditetapkan. Daftar pemilih secara terus menerus perlu dikelola dan diperbarui secara teratur oleh penyelenggara pemilu. Pemeliharaan biasanya melibatkan penambahan pemilih dan informasi lain yang terkait dari orang-orang yang memenuhi persyaratan, memperbarui rincian pemilih yang berhak yang berada di daftar pemilih dan menghapus nama-nama mereka yang tidak lagi memenuhi persyaratan (misalnya melalui kematian atau perubahan tempat tinggal). Dengan pemutakhiran daftar pemilih secara teratur tidak perlu ada pendaftaran pemilih saat menjelang pemilu, dengan tetap terus melakukan pemutakhiran atau pemeliharaan daftar pemilih yang sudah ada. Daftar pemilih berkelanjutan dapat dipertahankan baik secara lokal atau nasional. Daftar pemilih berkelanjutan perlu dilakukan karena diperbarui secara teratur. Biaya pendaftaran pemilih berkelanjutan ini akan lebih efektif dengan dukungan perangkat teknologi sehingga tidak membutuhkan petugas pendaftaran sebagaimana yang dilakukan saat menjelang pemilu. Pelaksanaan Pemilihan Serentak Lanjutan Tahun 2020 dilaksanakan berdasarkan Perpu Nomor 2 Tahun 2020 yang tahapannya dilaksanakan mulai 15 Juni 2020. Tahapan paling awal yang dilaksanakan adalah pelantikan PPK/PPS yang di beberapa daerah yang menyelenggarakan Pemilihan Serentak belum dilakukan pelantikan. Bagi yang sudah dilakukan pelantikan, maka PPS memiliki kewajiban untuk mengusulkan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) dari unsur RT, RW maupun tokoh masyarakat yang nantinya akan melaksanakan tugas melakukan pencocokan dan penelitian atas Daftar Pemilih yang telah dipetakan ke dalam TPS. Untuk menjamin pelaksanaan Coklit yang dilaksanakan PPDP tanggal 15 Juli – 13 Agustus 2020, petugas PPDP dipastikan untuk mengikuti rapid test, mengingat tahapan Pemilihan Serentak Tahun 2020 dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19. Ketentuan dalam Pasal 5-9 PKPU 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan /atau Walikota dan Wakil Walikota Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Non Alam Covid-19 mewajibkan tahapan yang dilaksanakan, salah satunya pelaksanaan coklit dengan menerapkan protocol Kesehatan secara ketat. Dari segi proses pengusulan PPDP, dilakukan secara daring dalam penyampaian berkas persyaratannya. Sebagaimana ketentuan Pasal 10 PKPU Nomor 2 Tahun 2017 KPU menyusun daftar pemilih untuk disampaikan kepada PPDP melalui PPK dan PPS sebagai bahan pencocokan dan penelitian (Coklit). Perlu diketahui bahwa jenis formulir yang diatur  dalam Pasal 3 PKPU Nomor 2 Tahun 2017 diantaranya adalah Form AB (Daftar Perubahan Pemilih Hasil Pemutakhiran) dan Form AC (Daftar Pemilih Potensial Non KTP Elektronik). Dalam PKPU 6 Tahun 2020, form AC ini kemudian tidak diatur, sehingga Data Pemilih Potensial Non KTP Eelektronik masuk dalam Form AB (Daftar Pemilih Hasil Pemutakhiran). Perlu disimak lebih lanjut, bahwa form AB dalam PKPU 2 Tahun 2017 hanya untuk mencatat Daftar Perubahan Pemilih Hasil Pemutakhiran, sedangkan form AB dalam PKPU 6 Tahun 2020 adalah untuk mencatat Daftar Pemilih Hasil Pemutakhiran. Artinya, form AB dalam PKPU 6 Tahun 2020 memuat perubahan Data pemilih sekaligus mengakomodir pemilih pemilih potensial Non KTP yang sebelumnya dipisah dalam form AC. Permasalahan dalam Pemilihan Serentak Tahun 2020 yang lalu terjadi, ketika Bawas Kabupaten/Kota menyampaikan surat Penerusan Pelanggaran Administrasi Pemilihan kepada KPU akibat PPS tidak memberikan Salinan AB KWK kepada Panwas Desa/Kelurahan. Hal tersebut terjadi hampir di semua wilayah yang menyelenggarakan Pemilihan Serentak 2020. Perlu dipahami bahwa ketentuan dalam Pasal 12 ayat 11 PKPU 2017 yang berbunyi “PPS menyampaikan daftar Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) kepada PPK, PPL dan KPU/KIP Kabupaten/Kota dalam bentuk softcopy dan hardcopy” kemudian dijadikan dasar oleh Bawas Kabupaten/Kota untuk dengan tergesa-gesa memvonis PPS telah melakukan pelanggaran administrasi. Hal tersebut tentu membuat gaduh proses pemutakhiran data yang sudah dilakukan  teman-teman badan adhoc, yaitu PPDP, PPS dan PPK. Apabila dibaca ketentuan pasal 25 ayat 4 PKPU 6 Tahun 2020, jelas disebutkan bahwa PPS menyampaikan hasil rekapitulasi daftar Pemilih hasil Pemutakhiran kepada: a. PPK; b. KPU Kabupaten/Kota melalui PPK; c. Panwaslu Kelurahan/Desa; dan d. perwakilan Partai Politik. Yang disampaikan kepada Panwas sebagaimana ketentuan tersebut hanyalah hasil rekapitulasi Daftar Pemilih Hasil Pemutakhiran. Perbedaan ketentuan dalam Pasal 25 ayat 4 PKPU 6 Tahun 2020 dan Pasal 12 ayat 11 PKPU 2 Tahun 2017, tentu harus dipahami dalam konteks yang utuh, sehingga Bawaslu tidak memaksakan agar terjadi pelanggaran administrasi oleh PPS, dan kemudian berakibat harus memberikan sanksi kepada PPS. Bahkan PPS juga mendasarkan pada Surat Edaran KPU Nomor: 684/PL.02.1- SD/01/KPU/VIII/2020, pada angka 2 (dua) berbunyi “KPU Kabupaten/Kota memerintahkan kepada PPS melalui PPK agar menjaga data hasil pemutakhiran yang berisi data pribadi by name by address untuk tidak membagikan, mengunggah atau memperjualbelikan data tersebut sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013. Pada pasal 1 angka 22, “data pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya”, serta PKPU 19 Tahun 2019 pasal 33C, “KPU, KPU Provinsi/KIP Kabupaten/Kota wajib menjaga kerahasiaan informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Prinsip pemutakhiran data komprehensif, akurat dan mutakhir tentu harus dikedepankan dalam pengawasan, terutama dilakukan oleh Panwas Kelurahan/Desa saat PPDP melakukan coklit. Jajaran KPU Kabupaten menyadari keterbatasan jumlah sumberdaya Panwas Desa/Kelurahan yang hanya 1 orang untuk mengawasi PPDP yang jumlahnya sebanyak TPS di masing-masing desa/kelurahan. Namun demikian, tidak perlu kemudian perbedaan pasal dalam kedua PKPU tersebut menyebabkan masalah pengawasan dalam coklit serta penyusunan daftar pemilih menjadi gaduh dan jauh dari prinsip komprehensif, akurat dan mutakhir. Mengadapa demikian? Akibat gaduhnya penafsiran kedua pasal dalam PKPU yang berbeda tersebut, kemudian banyak ditemukan laporan dari Panwas Desa/Kelurahan yang disampaikan ke Bawaslu Kabupaten/Kota tidak akurat. Panwas Desa/Kelurahan, disinyalir hanya meminta data kepada PPS sebagai laporan, tanpa melakukan pengawasan secara aktif. Kondisi tersebut, seharusnya tidak perlu adanya Surat Bawaslu Kabupaten/Kota mengenai penerusan pelanggaran Administrasi Pemilihan. Dari awal seharusnya berfikir bagaimana solusi dengan adanya perbedaan pasal tersebut. KPU RI kemudian mengeluarkan SE Nomor: 759/PL.02.1-SD/01/KPU/IX/2020 pada tanggal 28 Agustus 2020 tentang tindak lanjut hasil koordinasi KPU dan Bawaslu dalam penyusunan daftar pemilihan serentak tahun 2020. Dalam angka 2 disampaikan bahwa “saran perbaikan dan/atau rekomendasi yang disampaikan oleh jajaran Bawaslu terhadap data pemilih dalam formulir A.B-KWK disampaikan kembali pada saat rekapitulasi DPHP untuk ditetapkan sebagai DPS di KPU Kabupaten/ Kota dilanjutkan dengan memberikan Salinan By Name By Address DPT dan pada angka 3 “KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota memberikan data DPS (A.1- KWK) kepada Bawaslu dalam bentuk softfile dengan format CSV dan/atau Excel dengan menutup 6 (enam) angka ditengah (tanggal lahir) pada NIK dan NKK untuk menjaga kerahasiaan data pribadi”. Konsep solusi inilah yang perlu dikedepankan dalam rangka mewujudkan pemutakhiran data yang komprehensif, akurat dan mutakhir, sehingga PPS kemudian tidak “divonis” telah melakukan pelanggaran. Jika Bawaslu membutuhkan A.B-KWK untuk membuktikan semua temuan coklit telah ditindaklanjuti, tentu PPS dan Panwas Desa/Kelurahan sudah melakukan koordinasi dari awal coklit sampai dengan penyerahan hasil coklit kepada PPS. Jika masih terdapat kekurangan, bukti tindaklanjut dapat dilihat dalam DPS yang disampaikan nantinya. Toh, proses pasca DPS masih ada perbaikan, bahkan dalam Pasal 28 PKPU 6 Tahun 2020 dilakukan uji public untuk mendapatkan masukan terhadap DPS. Makna tergesa dan terburu-buru ini berbeda dari sikap sigap, cepat, dan tanggap yang selalu diiringi dengan fikiran jernih dan matang. Sikap tergesa-gesa justru lebih dekat dengan tindakan gegabah dan ceroboh. Lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah, daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah.

Populer

Belum ada data.