FGD Bahas Politik di Media Sosial, KPU Jateng Tekankan Etika Digital Generasi Muda
Semarang, 18 November 2025 — Kadiv. Sosdiklihparmas KPU Jawa Tengah, Akmaliyah, menjadi narasumber dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Peran Generasi Muda dalam Menyikapi Dinamika Politik yang Berkembang di Media Sosial” yang diselenggarakan oleh Direktorat Intelijen dan Keamanan (Ditintelkam) Polda Jawa Tengah, Selasa (18/11). Kegiatan ini diikuti oleh perwakilan dari beberapa Instansi serta siswa-siswi SMA di Semarang. FGD digelar untuk menjawab tantangan baru dalam ekosistem informasi politik yang kini bergerak sangat cepat, terutama di ruang digital. Dalam paparannya, Akmaliyah menegaskan bahwa generasi muda—khususnya kelompok milenial dan Gen Z—memiliki pengaruh signifikan dalam pembentukan opini publik pada setiap momentum politik serta menyoroti cepatnya persebaran arus informasi politik di media sosial. Menurutnya, dinamika tersebut harus diimbangi dengan kemampuan literasi digital yang memadai. Dalam kesempatan tersebut, Akmaliyah mengajak generasi muda untuk berperan aktif dalam ruang politik secara bijak dan konstruktif. ....
ABIS PEMILU NGAPAIN? SUARA UNTUK DEMOKRASI
Semarang, 16 November 2025 Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia berkerja sama dengan Komisi.co menggelar kegiatan talk show yang bertajuk Abis Pemilu Mau Apa Lagi? digelar di gedung SMI Kota Semarang. Narasumber kegiatan ini diantaranya adalah Yulianto Sudrajat Anggota KPU RI, Casytha Kathmandu Anggota DPD RI, Erik Kurniawan Direktur Eksekutif Sindikasi Demokrasi, Cania Citta Co-Founder Malaka, dan dipandu oleh Coki Pardede seorang komika. Yulianto dalam kegiatan ini menjelaskan bahwa KPU telah berkerja dengan transparan dalam Pemilu. Masyarakat dapat memantau hasil tiap TPS melalui Sirekap dan hal tersebut bebas diakses oleh semua orang. Selain itu, KPU juga memaksimalkan seluruh sumber daya yang dimiliki untuk menyukseskan Pemilu 2024. Sejalan dengan Yulianto, Erik menjelaskan bahwa partisipasi pemilih pada Pemilu 2024 mencapai puncak tertingginya dibanding pemilu sebelumnya yakni sebesar 82%. Disamping itu isu hoax dan black campaign turun dibanding Pemilu 2019. Dilain pihak, Cania lebih menyoroti perihal sistem politik dan Partai Politik yang tidak memiliki sosok yang negarawan. Partai Politik tidak mampu menciptakan kader-kader yang potensial dikarenakan ongkos politik dalam pemilu yang besar. Casytha dalam kegiatan ini lebih mengajak kepada anak muda untuk dapat berpartisipasi aktif dalam pemilu. Sebagai Senator muda, awalnya ia melihat politik merupakan hal yang menyeramkan. Namun ia berusaha untuk dapat memahami dan belajar sehingga ia berhasil terpilih menjadi seorang Anggota DPD RI yang masih berusia muda. Kegiatan berlangsung selama hampir 2 jam dengan suasana yang cair dan seru lengkap dengan celetukan khas dari Coki yang membuat suasana menjadi gemuruh. ....
KPU Jateng Hadiri Seminar Nasional Tata Kelola Pemilu: Refleksi dan Proyeksi 2024
Semarang — Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Tengah hadir dalam Seminar Nasional Sehari bertajuk “Tata Kelola Pemilu dan Pemilihan Tahun 2024: Refleksi dan Proyeksi” yang diselenggarakan oleh KPU RI bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro, Kamis (13/11/2025), di Auditorium FISIP Undip, Semarang. Kegiatan tersebut diikuti oleh mahasiswa serta perwakilan organisasi. Seminar ini menjadi ruang refleksi bersama atas penyelenggaraan Pemilu dan Pemilihan Serentak Tahun 2024 sekaligus proyeksi terhadap tantangan demokrasi ke depan. Hadir sebagai Keynote Speaker, Ketua KPU RI Mochammad Afiffudin, sementara jajaran anggota KPU RI — August Mellaz, Yulianto Sudrajat, dan Betty Epsilon Idroos — turut menjadi pemateri dalam sesi diskusi panel. Dalam sambutannya, Mochammad Afiffudin menekankan bahwa penyelenggaraan Pemilu Serentak 2024 merupakan pengalaman demokrasi yang unik dalam sejarah Indonesia. “Samudra politik kepemiluan di Indonesia luar biasa. Kalau mau melakukan kajian, maka Indonesia itu samudra. Saya menggarisbawahi bahwa perjalanan Pemilu Serentak 2024 bisa jadi model pertama yang kita jalani. Februari 2024 kita menggelar Pilpres dan Pemilihan DPR RI, DPRD, dan DPD, lalu November Pilkada. Belum pernah ada pemilu yang diselenggarakan dalam satu waktu yang sama seperti itu,” ujar Afiffudin. “Kalau tugas KPU seperti ojek online. KPU mengantarkan pemimpin menjadi kepala daerah atau presiden, namun dalam perjalanannya banyak tantangan yang harus dihadapi. Setiap pemilu selalu ada tantangannya,” tambahnya. Sementara itu, Anggota KPU Jawa Tengah Basmar Perianto Amron yang hadir mewakili Ketua KPU Jawa Tengah menyampaikan komitmen untuk menindaklanjuti kerja sama antara KPU RI dan FISIP Undip. “Untuk menindaklanjuti kerja sama antara KPU RI dan FISIP, maka KPU Jawa Tengah akan melaksanakan kegiatan lanjutan untuk menyampaikan bahwa pemilu tidak hanya sekadar mencoblos, tetapi juga ada konsekuensinya. Sehingga masyarakat memahami betul agar tidak salah saat memilih,” tutur Basmar. “Kami akan tindak lanjuti dengan kegiatan bersama untuk mencerdaskan masyarakat tentang pemilu." ....
KPU Jateng Hadiri FGD Revitalisasi Peran Lembaga Perwakilan di FH Undip
Semarang— Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Tengah, Handi Tri Ujiono, menghadiri Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Revitalisasi Peran Lembaga Perwakilan (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) dalam Rangka Meningkatkan Kinerja Pengawasan dan Penyerapan Aspirasi Masyarakat” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Kamis (13/11/2025), di Semarang. Kegiatan tersebut dihadiri oleh Sekretaris Jenderal MPR RI, Siti Fauziah, S.E., M.M dan jajaran MPR RI, serta akademisi Fakultas Hukum Undip. FGD ini menjadi ruang dialog strategis untuk memperkuat fungsi lembaga perwakilan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, terutama dalam aspek pengawasan dan penyerapan aspirasi masyarakat. Dalam forum tersebut, Handi Tri Ujiono hadir sebagai salah satu pembahas yang menyoroti pentingnya sinergi antara lembaga perwakilan dan penyelenggara pemilu dalam memperkuat demokrasi representatif di Indonesia. ....
UJIAN TENGAH SEMESTER MATA KULIAH HUKUM PEMILU
KPU Provinsi Jawa Tengah bersama Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang maksanakan Ujian Tengah Semester (UTS) Mata Kuliah Hukum Pemilu yang dilaksanakan di Aula Kantor KPU Provinsi Jawa Tengah. UTS dilaksanakan untuk mengukur sejauh mana pemahaman mahasiswa terhadap materi hukum pemilu yang disampaikan oleh Ketua dan Anggota KPU Jateng. Terdapat hal yang cukup berbeda jika dibandingkan dengan UTS biasa di kampus. Untuk UTS mata kuliah Hukum Pemilu, para mahasiswa diminta untuk membuat sebuah makalah hasil dari kajian mereka pribadi yang mengaji putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Diharapkan dengan mengkaji putusan PHPU yang telah diputuskan mahasiswa dapat mengasah pikiran dan pemahamannya terhadap hukum pemilu. ....
KPU Jateng Jadikan Hari Pahlawan Sebagai Pengingat Tugas Kebangsaan
Semarang— Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jawa Tengah menggelar upacara peringatan Hari Pahlawan di halaman kantor KPU Jateng, Senin (10/11/2025). Ketua KPU Jateng, Handi Tri Ujiono bertindak sebagai inspektur upacara dan membacakan amanat Menteri Sosial Republik Indonesia. Dalam amanat tersebut disampaikan bahwa peringatan Hari Pahlawan menjadi momentum untuk meneladani semangat juang para pahlawan yang telah mempertahankan kemerdekaan Indonesia. “Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya menjadi tonggak penting perjuangan bangsa. Dari sana kita belajar tentang keberanian, pengorbanan, dan persatuan dalam mempertahankan kedaulatan negara,” ujar Handi saat membacakan amanat. Upacara berlangsung khidmat dengan diikuti jajaran anggota KPU Provinsi Jawa Tengah, sekretariat, serta pegawai di lingkungan KPU Jateng. Seluruh peserta mengenakan pakaian hitam putih sebagai bentuk penghormatan kepada para pahlawan yang telah gugur. Peringatan Hari Pahlawan tahun ini diharapkan dapat menjadi pengingat bagi seluruh elemen bangsa, khususnya di lingkungan KPU, untuk terus menumbuhkan nilai-nilai integritas, semangat kebangsaan, dan dedikasi dalam menjalankan tugas pelayanan publik serta penyelenggaraan pemilu yang berintegritas. “Semangat para pahlawan hendaknya menjadi inspirasi bagi kita semua untuk terus berkarya dan berkontribusi bagi bangsa, sesuai peran masing-masing,” tutur Handi. ....
Publikasi
Opini
SUMPAH PEMUDA DAN REFLEKSI 97 TAHUN SETELAHNYA (oleh: Kisfendy Noor Hidayadi - Staf Parhumas KPU Provinsi Jawa Tengah) Kami Putra dan Putri Indonesia Bertumpah Darah Yang Satu, Tanah Indonesia, Berbangsa Satu, Bangsa Indonesia, Menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia. Suatu kalimat penuh magis yang tercipta 97 Tahun lalu dalam Kongres Pemuda II tepatnya pada tanggal 28 Oktober Tahun 1928. Kongres yang diketuai oleh Soegondo Djojopoespito dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI) menjadi gerbang persatuan pemuda pemudi Indonesia. Pelopor terlaksananya Kongres Pemuda II ini diprakarsai oleh Perhimpunan Pelajar Jong Java, Jong Soematra (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi, dan Perhimpoenan Peladjar2 Indonesia. Menelisik kembali kemasa itu, tujuan dari Kongres Pemuda II adalah satu, Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Merdeka dari keterjajahan bangsa asing dan merdeka sebagai individu. dan 17 Tahun setelah Kongres Pemuda II dilaksanakan, kemerdekaan itu akhirnya terwujud melalui usaha dari seluruh anak bangsa. Tepat pada Hari ini, 97 Tahun setelah Sumpah Pemuda lahir kita semua kembali mengenang dengan melakukan Upacara dan pengucapan kembali rumusan teks Sumpah Pemuda. Peringatan yang tiap tahun dilaksanakan ini sejatinya jauh dari dalam diri kami merasakan kejanggalan yang terasa. Apakah benar persatuan itu masih ada? mungkin jawabannya ada di dalam hati kita saja. Namun jika kita berkaca pada 97 Tahun lalu memang kata Persatuan mungkin bergeser maknanya saat ini. Dahulu, persatuan diagungkan untuk dapat melawan musuh bersama, yaitu penjajah. Namun saat ini, arti kata persatuan tidak dapat dimaknai hal yang sama seperti dahulu. Lebih dari itu, persatuan era saat ini dimaknai dengan bagaimana kita secara kolektif dapat meningkatkan kesejahteraan bangsa untuk menjadi negara maju. Indonesia memiliki banyak sumber daya yang dapat dieksplorasi. Indonesia merupakan negara dengan peringkat 10 besar negara penghasil Emas, Batu Bara dan Nikel terbesar di Dunia, serta memiliki cadangan Bauksit, Timah, Tembaga serta Gas Alam yang masih dapat dieksplorasi lebih lagi. Itu semua adalah sumber daya alam fosil yang kelak akan habis. Namun terdapat sumber daya lain yang masih belum dilirik untuk dimaksimalkan dengan baik, yakni Sumber Daya Manusia. Dengan jumlah populasi terbesar ke 4 di dunia, sumber daya ini belum dimaksimalkan dengan baik. Padahal sektor ini sangat penting. Kita sudah melihat banyak contoh warga negara lain di Asia seperti China dan India telah banyak warga negaranya menduduki pos pos penting di perusahaan kelas dunia. Contoh Satya Nadella yang saat ini menjabat sebagai CEO perusahaan raksasa Microsoft dan Sundar Pichai yang saat ini menjabat sebagai CEO Google, atau Zhang Yiming seorang warga negara China yang berhasil menguasai industri sosial media melalui perusahaannya TikTok. Mereka adalah salah satu contoh bukti nyata bahwa pengelolaan sumber daya manusia yang optimal dapat meningkatkan kemajuan bangsa. Sumber daya manusia yang unggul tidak dapat tercipta dengan sendirinya. Butuh proses, waktu, pengorbanan, dan dukungan kebijakan pendidikan dan penunjangnya yang tepat. Jika seluruh komponen tersebut dapat diorkestrasi secara baik dengan semangat persatuan dan kesatuan, target Indonesia emas pada tahun 2045 akan dapat terwujud. Refleksi peringatan sumpah pemuda 97 tahun silam harus dimaknai dengan perkembangan kebaikan bagi bangsa. Mari kita mulai dengan bersama-sama bergerak dan bersatu bertindak positif. Untuk pemuda pemudi pelajar Indonesia, baik-baiklah di sekolah dalam menuntut ilmu. Serap sebanyak-banyaknya ilmu di bangku sekolah dan aplikasikan kedalam kehidupan nyata. Bagi pemuda pemudi pekerja, bekerja keraslah dengan sungguh-sungguh dan raihlah prestasi dan buatlah inovasi dalam berkarya dan berkerja. Mengutip pesan Presiden Prabowo Subianto dalam teks pidato peringatan ke 97 hari Sumpah Pemuda Tahun 2025 bahwa kita adalah negara dan bangsa yang besar, jangan takut bermimpi besar, jangan takut gagal, kalian bukan pelengkap sejarah, karena kalian adalah penentu sejarah berikutnya. Selamat memperingati hari sumpah pemuda ke 97 Tahun 2025 Pemuda Pemudi Indoneisa. (knh)
UJIAN INTEGRITAS ASN PENYELENGGARA PEMILU Oleh: Nurhidayati (Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro) Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia merupakan aktivitas demokrasi sebagai wadah menampung aspirasi dan implementasi kebijakan Pemerintah agar kehendak rakyat dapat terwujud secara menyeluruh. Penyelenggaraan Pemilu secara berkala merupakan suatu kebutuhan mutlak sebagai sarana demokrasi yang menjadikan kedaulatan rakyat sebagai inti dalam kehidupan bernegara. Proses kedaulatan rakyat yang diawali dengan Pemilu dimaksudkan untuk menentukan asas legalitas, asas legitimasi dan asas kredibilitas bagi suatu pemerintahan yang didukung oleh rakyat. Penguasa legislatif dan pemerintahan yang dapat diterima oleh rakyat dibutuhkan penyelenggara Pemilu yang memiliki komitmen dan konsisten menyelenggarakan Pemilu yang demokratis dan berkualitas. Menurut kajian ACE Project, Pemilu berintegritas merupakan tanggungjawab bersama antara penyelenggara, pemerintah, peserta Pemilu dan pemilih yang menyadari pentingnya moral dan etika. Kofi Annan menyatakan bahwa Pemilu berintegritas berdasar pada prinsip demokratis terhadap hak pilih universal, kesetaraan, professional, imparsial dan transparan dari seluruh siklus pemilu. Pemilu yang berintegritas akan terwujud jika penyelenggara Pemilu tidak memihak kepada siapapun yang menjadi bagian dari kompetisi. Salah satu aspek dalam lingkup impartiality adalah tidak menunjukan sikap dan tindakan yang mengarah pada keberpihakan terhadap peserta Pemilu di semua tahapan Pemilu. Pasca orde baru, Indonesia telah menyelenggarakan pemilu dengan mengedepankan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil secara berkala setiap lima tahun sekali. Asas- asas tersebut perlu diperkuat agar muncul kepercayaan yang kuat bahwa Pemilu telah dilangsungkan sesuai prosedur dan kaidah demokrasi. Integritas pemilu dapat terwujud dengan sinergitas pihak- pihak yaitu pemilih, peserta dan penyelenggara Pemilu yang secara bersama- sama berjalan pada setiap tahapan sesuai dengan norma yang berlaku. Keterlibatan rakyat secara langsung untuk menggunakan hak politik sebagai pemilih merupakan implementasi dari asas langsung. Rakyat yang dimaksud merupakan seluruh warga Negara yang memenuhi syarat sebagai pemilih dan terdaftar dalam daftar pemilih tetap. Aparatur Sipil Negara (ASN) memperoleh hak yang sama sebagai warga Negara untuk menggunakan hak memilih pada setiap penyelenggaraan Pemilu. Posisi ASN menjadi strategis dalam pelaksanaan Pemilu. ASN penyelenggara pemilu dapat berperan ganda sebagai pemilih dan penyelenggara pemilu. Penyelenggara Pemilu yang berintegritas mengandung unsur penyelenggara yang jujur, transparan, akuntabel, cermat dan akurat dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya Setiap penyelenggaraan pemilu selalu diwarnai adanya dugaan tindakan yang melukai netralitas ASN. Aduan dari peserta Pemilu maupun masyarakat diterima oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai penyelenggara Pemilu yang mempunyai kewenangan untuk melakukan tindakan terhadap pelanggaran yang terjadi di setiap tahapan. Undang- Undang Nomor 5 Tahun 2014 dijelaskan bahwa dalam menjalankan tugasnya seorang ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan maupun partai politik. Dengan demikian jelas bahwa ASN dilarang bergabung dalam keanggotaan partai politik. Undang- undang tersebut juga mengatur tugas ASN adalah melaksanakan kebijakan publik yang dibuat berdasarkan peraturan perundang- undangan. ASN juga bertugas memberikan pelayanan kepada publik secara profesional dan berkualitas serta mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seorang ASN hendaknya memahami bahwa salah satu kewajiban yang harus dipenuhi adalah menunjukkan integritas baik dalam sikap, perilaku, ucapan dan tindakan dalam melaksanakan tugas. Kemampuan untuk tidak memihak maupun menguntungkan salah satu kelompok merupakan perwujudan integritas ASN. Keberpihakan kepada kelomPok tertentu secara lisan melalui ucapan, maupun tulisan akan menodai integritas. ASN yang tidak berintegritas berdampak pada kesejahteraan rakyat yang seharusnya menjadi perhatian utama. ASN yang tidak profesional dalam melaksanakan tugas menyebabkan terjadinya diskriminasi pelayanan kepada publik sehingga rakyat tidak mendapatkan Pelayanan yang memadai. Pengaruh dan intervensi dari pihak luar akan terbebas jika ASN memegang teguh integritasnya. Dunia kepemiluan di Indonesia mengenal pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. Jenis pelanggaran yang sering terjadi di Indonesia dengan melibatkan ASN didalamnya berdasarkan pengalaman penyelenggaraan Pemilu antara lain adalah penyalahgunaan keuangan yang bersumber dari APBD maupun APBN yang merupakan kewenangan pemerintah dalam melaksanakan kegiatan penyelenggaraan Pemilu. Hal ini dapat dilakukan oleh pejabat maupun pihak tertentu yang berada dalam pemerintahan untuk menguntungkan pihak tertentu. Pelanggaran tersebut dapat dilakukan oleh ASN penyelenggara Pemilu maupun ASN diluar penyelenggara Pemilu. Jenis pelanggaran lain yang dapat dilakukan ASN adalah money politics dimana terjadi aktivitas pemberian uang, barang atau jasa yang bisa dikonversi menjadi uang dari seseorang kepada penyelenggara Pemilu. Jenis pelanggaran ini marak terjadi setiap penyelenggaraan Pemilu. Hal ini memungkinkan seorang ASN melakukan money politics karena kedudukannya yang akan memberi keuntungan salah satu pihak dalam kontestasi. Seorang penyelenggara Negara yang menerima suap untuk melakukan tindakan yang berlawanan dengan kewajiban dan tugasnya juga menjadi pelanggaran yang menjadi aduan kepada peradilan pemilu. Kasus yang lain adalah memberikan perlakuan istimewa pada salah satu pihak. Tindakan tersebut memberikan keuntungan pada satu sisi, namun di sisi yang lain akan merugikan. Pelanggaran yang juga sering diadukan pada lembaga pengawas Pemilu yaitu adanya ASN yang terlibat pada suatu kegiatan baik resmi maupun tidak resmi yang menyebabkan terjadinya konflik kepentingan. Menyatakan bentuk dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi salah satu aduan yang sering disampaikan kepada pengawas Pemilu. Merujuk pada Undang- undang tentang Aparatur Sipil Negara, dimana ASN yang terdiri dari PNS dan PPPK berperan sebagai perencana, pelaksana dan pengawas penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan nasional, maka ASN dalam penyelenggaraan Pemilu memiliki peran ganda sebagai pelaksana kebijakan dan pelayanan publik. ASN berkewajiban memberikan layanan secara administratif sebagai pelaksana pemerintahan yang wajib menjalankan setiap kebijakan. Hal ini juga mempermudah pemerintah sebagai pemilik kebijakan untuk melakukan kontrol dan mempertanggungjawabkan keputusan yang ditetapkan. Regulasi sudah disediakan untuk menjadi acuan bagi ASN dalam melaksanakan seluruh tugas sebagai penyelenggara Pemilu. ASN yang bekerja sebagai penyelenggara pemilu diharapkan dapat mendukung pelaksanaan pemilu yang berintegritas dan dapat diterima oleh seluruh pemangku kepentingan.
Oleh: Maskup Asyadi Ketua KPU Kabupaten Semarang Penulis memilih kata “metamorfosa” sebagai wujud perubahan ketentuan dalam penyusunan daftar pemilih dalam rangka menuju penyusunan daftar pemilih yang lebih baik. Setiap warga negara yang telah memenuhi syarat (berumur 17 tahun atau belum 17 tahun tetapi sudah atau pernah menikah) memiliki hak untuk berpartisipasi dalam urusan pemerintahan mereka adalah salah satu pilar demokrasi. Perwujudannya adalah dalam bentuk yang paling mendasar dari partisipasi suara dalam pemilihan yang bebas, adil dan teratur. Bagi warga Negara, agar mereka dapat menggunakan hak demokratis mereka untuk memilih, penyelenggara pemilu akan membangun daftar pemilih, juga disebut pemilih yang komprehensif dan inklusif mendaftar. Daftar pemilih yang baik memastikan setiap warga negara yang memenuhi syarat terdaftar untuk memilih. Sebuah daftar pemilih memungkinkan untuk memisahkan dua fungsi yang paling penting dari otoritas penyelenggara pemilu, yaitu memverifikasi kelayakan pemilih dan mengendalikan legitimasi/sahnya proses pemungutan suara. Daftar ini juga dapat digunakan untuk beberapa tujuan misalnya sebagai pendidikan bagi pemilih, dan dapat digunakan partai politik dan kandidat untuk membantu dalam proses kampanye. Pendaftaran pemilih adalah proses verifikasi identitas pemilih potensial, dan memasukkan nama dan komponen data kependudukan mereka dalam daftar pemilih. Untuk mewujudkan pendaftaran adil, komprehensif dan inklusif, pemilih potensial harus menyadari proses pendaftaran dan memiliki kesempatan yang sama dan diberikan akses untuk mengetahui serta terlibat aktif dalam proses pendaftaran pemilih tersebut. Kampanye pendidikan pemilih menumbuhkan kesadaran yang diperlukan dengan menekankan pentingnya pendaftaran, sebagai bentuk tanggung jawab warga negara untuk terdaftar, dan menyajikan informasi tentang pentingnya daftar pemilih bagi warga yang telah memenuhi persyaratan. Pendaftaran pemilih sebenarnya merupakan kesatuan proses antara penyelenggara dengan warga potensi pemilih. Penyelenggara pemilu diberikan kesempatan untuk melaksanakan pendaftaran pemilih, sedangkan warga potensial pemilih perlu memperhatikan dan berperan aktif dalam tahapan tersebut untuk memastikan sudah tercantum dalam daftar pemilih. Hal tersebut dapat dilakukan warga dengan mengunjungi situs pendaftaran dan secara resmi dapat melakukan pendaftaran online melalui mekanisme yang telah ditetapkan. Daftar pemilih secara terus menerus perlu dikelola dan diperbarui secara teratur oleh penyelenggara pemilu. Pemeliharaan biasanya melibatkan penambahan pemilih dan informasi lain yang terkait dari orang-orang yang memenuhi persyaratan, memperbarui rincian pemilih yang berhak yang berada di daftar pemilih dan menghapus nama-nama mereka yang tidak lagi memenuhi persyaratan (misalnya melalui kematian atau perubahan tempat tinggal). Dengan pemutakhiran daftar pemilih secara teratur tidak perlu ada pendaftaran pemilih saat menjelang pemilu, dengan tetap terus melakukan pemutakhiran atau pemeliharaan daftar pemilih yang sudah ada. Daftar pemilih berkelanjutan dapat dipertahankan baik secara lokal atau nasional. Daftar pemilih berkelanjutan perlu dilakukan karena diperbarui secara teratur. Biaya pendaftaran pemilih berkelanjutan ini akan lebih efektif dengan dukungan perangkat teknologi sehingga tidak membutuhkan petugas pendaftaran sebagaimana yang dilakukan saat menjelang pemilu. Pelaksanaan Pemilihan Serentak Lanjutan Tahun 2020 dilaksanakan berdasarkan Perpu Nomor 2 Tahun 2020 yang tahapannya dilaksanakan mulai 15 Juni 2020. Tahapan paling awal yang dilaksanakan adalah pelantikan PPK/PPS yang di beberapa daerah yang menyelenggarakan Pemilihan Serentak belum dilakukan pelantikan. Bagi yang sudah dilakukan pelantikan, maka PPS memiliki kewajiban untuk mengusulkan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) dari unsur RT, RW maupun tokoh masyarakat yang nantinya akan melaksanakan tugas melakukan pencocokan dan penelitian atas Daftar Pemilih yang telah dipetakan ke dalam TPS. Untuk menjamin pelaksanaan Coklit yang dilaksanakan PPDP tanggal 15 Juli – 13 Agustus 2020, petugas PPDP dipastikan untuk mengikuti rapid test, mengingat tahapan Pemilihan Serentak Tahun 2020 dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19. Ketentuan dalam Pasal 5-9 PKPU 6 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan /atau Walikota dan Wakil Walikota Serentak Lanjutan Dalam Kondisi Bencana Non Alam Covid-19 mewajibkan tahapan yang dilaksanakan, salah satunya pelaksanaan coklit dengan menerapkan protocol Kesehatan secara ketat. Dari segi proses pengusulan PPDP, dilakukan secara daring dalam penyampaian berkas persyaratannya. Sebagaimana ketentuan Pasal 10 PKPU Nomor 2 Tahun 2017 KPU menyusun daftar pemilih untuk disampaikan kepada PPDP melalui PPK dan PPS sebagai bahan pencocokan dan penelitian (Coklit). Perlu diketahui bahwa jenis formulir yang diatur dalam Pasal 3 PKPU Nomor 2 Tahun 2017 diantaranya adalah Form AB (Daftar Perubahan Pemilih Hasil Pemutakhiran) dan Form AC (Daftar Pemilih Potensial Non KTP Elektronik). Dalam PKPU 6 Tahun 2020, form AC ini kemudian tidak diatur, sehingga Data Pemilih Potensial Non KTP Eelektronik masuk dalam Form AB (Daftar Pemilih Hasil Pemutakhiran). Perlu disimak lebih lanjut, bahwa form AB dalam PKPU 2 Tahun 2017 hanya untuk mencatat Daftar Perubahan Pemilih Hasil Pemutakhiran, sedangkan form AB dalam PKPU 6 Tahun 2020 adalah untuk mencatat Daftar Pemilih Hasil Pemutakhiran. Artinya, form AB dalam PKPU 6 Tahun 2020 memuat perubahan Data pemilih sekaligus mengakomodir pemilih pemilih potensial Non KTP yang sebelumnya dipisah dalam form AC. Permasalahan dalam Pemilihan Serentak Tahun 2020 yang lalu terjadi, ketika Bawas Kabupaten/Kota menyampaikan surat Penerusan Pelanggaran Administrasi Pemilihan kepada KPU akibat PPS tidak memberikan Salinan AB KWK kepada Panwas Desa/Kelurahan. Hal tersebut terjadi hampir di semua wilayah yang menyelenggarakan Pemilihan Serentak 2020. Perlu dipahami bahwa ketentuan dalam Pasal 12 ayat 11 PKPU 2017 yang berbunyi “PPS menyampaikan daftar Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) kepada PPK, PPL dan KPU/KIP Kabupaten/Kota dalam bentuk softcopy dan hardcopy” kemudian dijadikan dasar oleh Bawas Kabupaten/Kota untuk dengan tergesa-gesa memvonis PPS telah melakukan pelanggaran administrasi. Hal tersebut tentu membuat gaduh proses pemutakhiran data yang sudah dilakukan teman-teman badan adhoc, yaitu PPDP, PPS dan PPK. Apabila dibaca ketentuan pasal 25 ayat 4 PKPU 6 Tahun 2020, jelas disebutkan bahwa PPS menyampaikan hasil rekapitulasi daftar Pemilih hasil Pemutakhiran kepada: a. PPK; b. KPU Kabupaten/Kota melalui PPK; c. Panwaslu Kelurahan/Desa; dan d. perwakilan Partai Politik. Yang disampaikan kepada Panwas sebagaimana ketentuan tersebut hanyalah hasil rekapitulasi Daftar Pemilih Hasil Pemutakhiran. Perbedaan ketentuan dalam Pasal 25 ayat 4 PKPU 6 Tahun 2020 dan Pasal 12 ayat 11 PKPU 2 Tahun 2017, tentu harus dipahami dalam konteks yang utuh, sehingga Bawaslu tidak memaksakan agar terjadi pelanggaran administrasi oleh PPS, dan kemudian berakibat harus memberikan sanksi kepada PPS. Bahkan PPS juga mendasarkan pada Surat Edaran KPU Nomor: 684/PL.02.1- SD/01/KPU/VIII/2020, pada angka 2 (dua) berbunyi “KPU Kabupaten/Kota memerintahkan kepada PPS melalui PPK agar menjaga data hasil pemutakhiran yang berisi data pribadi by name by address untuk tidak membagikan, mengunggah atau memperjualbelikan data tersebut sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013. Pada pasal 1 angka 22, “data pribadi adalah data perseorangan tertentu yang disimpan, dirawat dan dijaga kebenaran serta dilindungi kerahasiaannya”, serta PKPU 19 Tahun 2019 pasal 33C, “KPU, KPU Provinsi/KIP Kabupaten/Kota wajib menjaga kerahasiaan informasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” Prinsip pemutakhiran data komprehensif, akurat dan mutakhir tentu harus dikedepankan dalam pengawasan, terutama dilakukan oleh Panwas Kelurahan/Desa saat PPDP melakukan coklit. Jajaran KPU Kabupaten menyadari keterbatasan jumlah sumberdaya Panwas Desa/Kelurahan yang hanya 1 orang untuk mengawasi PPDP yang jumlahnya sebanyak TPS di masing-masing desa/kelurahan. Namun demikian, tidak perlu kemudian perbedaan pasal dalam kedua PKPU tersebut menyebabkan masalah pengawasan dalam coklit serta penyusunan daftar pemilih menjadi gaduh dan jauh dari prinsip komprehensif, akurat dan mutakhir. Mengadapa demikian? Akibat gaduhnya penafsiran kedua pasal dalam PKPU yang berbeda tersebut, kemudian banyak ditemukan laporan dari Panwas Desa/Kelurahan yang disampaikan ke Bawaslu Kabupaten/Kota tidak akurat. Panwas Desa/Kelurahan, disinyalir hanya meminta data kepada PPS sebagai laporan, tanpa melakukan pengawasan secara aktif. Kondisi tersebut, seharusnya tidak perlu adanya Surat Bawaslu Kabupaten/Kota mengenai penerusan pelanggaran Administrasi Pemilihan. Dari awal seharusnya berfikir bagaimana solusi dengan adanya perbedaan pasal tersebut. KPU RI kemudian mengeluarkan SE Nomor: 759/PL.02.1-SD/01/KPU/IX/2020 pada tanggal 28 Agustus 2020 tentang tindak lanjut hasil koordinasi KPU dan Bawaslu dalam penyusunan daftar pemilihan serentak tahun 2020. Dalam angka 2 disampaikan bahwa “saran perbaikan dan/atau rekomendasi yang disampaikan oleh jajaran Bawaslu terhadap data pemilih dalam formulir A.B-KWK disampaikan kembali pada saat rekapitulasi DPHP untuk ditetapkan sebagai DPS di KPU Kabupaten/ Kota dilanjutkan dengan memberikan Salinan By Name By Address DPT dan pada angka 3 “KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota memberikan data DPS (A.1- KWK) kepada Bawaslu dalam bentuk softfile dengan format CSV dan/atau Excel dengan menutup 6 (enam) angka ditengah (tanggal lahir) pada NIK dan NKK untuk menjaga kerahasiaan data pribadi”. Konsep solusi inilah yang perlu dikedepankan dalam rangka mewujudkan pemutakhiran data yang komprehensif, akurat dan mutakhir, sehingga PPS kemudian tidak “divonis” telah melakukan pelanggaran. Jika Bawaslu membutuhkan A.B-KWK untuk membuktikan semua temuan coklit telah ditindaklanjuti, tentu PPS dan Panwas Desa/Kelurahan sudah melakukan koordinasi dari awal coklit sampai dengan penyerahan hasil coklit kepada PPS. Jika masih terdapat kekurangan, bukti tindaklanjut dapat dilihat dalam DPS yang disampaikan nantinya. Toh, proses pasca DPS masih ada perbaikan, bahkan dalam Pasal 28 PKPU 6 Tahun 2020 dilakukan uji public untuk mendapatkan masukan terhadap DPS. Makna tergesa dan terburu-buru ini berbeda dari sikap sigap, cepat, dan tanggap yang selalu diiringi dengan fikiran jernih dan matang. Sikap tergesa-gesa justru lebih dekat dengan tindakan gegabah dan ceroboh. Lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah, daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah.
Oleh: Wandyo Supriyatno (Ketua Divisi Sosdiklih Parmas & SDM KPU Kabupaten Klaten) Pemilihan Umum di Indoensia, yang dimulai dari tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009, 2014, dan terakhir 2019, menjadi catatan sejarah dan menjadi pembelajaran kepada seluruh anak bangsa ini, khususnya penyelenggara Pemilihan Umum (KPU), sebagaimana amanah Pasal 22E (5) UUD 1945 untuk selalu meningkatkan kualitas penyelenggaraan, semenjak tahap awal sampai pada hasil akhir Pemilihan umum. Diperlukan waktu yang panjang untuk menyelenggarakan Pemilihan umum 2024 saat ini, minimal 20 bulan sebelum hari pemungutan suara, dan jika dihitung sampai pelaksanaan pelantikan Presiden terpilih saat Pemilihan Umum 20224, maka tahapan dimulai semenjak 14 Juni 2022 sampai 20 Oktober 20024, hampi mencapai 28 bulan, alias 2 Tahun lebih 4 bulan. Waktu yang sangat lama dan panjang jika dilihat dari sisi waktu pelaksanaan periode Pemerintahan dengan pola 5 tahunan. Artinya, hampir setengah masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo, separuhnya akan dipenuhi dengan hiruk pikuk perwujudan demokrasi (Pemilihan Umum). Sistem demokrasi yang wajib dilakukan oleh pemerintah sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945 dalam rangka untuk terus melestarikan keberlangsungan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Menarik, apa yang disampaikan oleh Yang Terhormat Presiden Republik Indonesia, Ir. Joko Widodo, ketika KPU RI beraudiensi di Istana negara, dalam arahannya yang dituangkan dalam 6 (enam) hal Pesan Presiden, salah satunya beliau berpesan agar; “ Seluruh jajaran KPU, baik KPU RI, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, hingga segenap penyelenggara pemilu di tingkat KPPS, agar menjaga dan meningkatkan kualitas pemilu”. Pesan itu sarat dengan tantangan dan perlu kerja keras semua orang yang tergabung dalam penyelenggara Pemilihan Umum sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggara pemilu sebagaimana tercantum dalam pasal pasal di Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang sudah kita pahami bersama. Ada beberapa syarat atau indikator pemilu 2024 disebut meningkat kualitasnya, antara lain; meningkatnya partisispasi masyarakat, meningkatnya kualitas pendidikan pemilih dan meningkatnya kualitas tata kelola kepemiluan di lingkungan KPU di seluruh wilayah NKRI. Meningkatnya Partisipasi masyarakat, dimaknai sebagai bentuk partisipasi dan keikutsertaan masyarakat dalam rangka menyukseskan semua tahapan pemilu, terutama pada saat tahapan Kampanye dan tahapan Pemungutan Suara. Diharapkan masyarakat mengikuti kegiatan kampanye yang pada pemilu tahun 2024 direncanakan selama 75 hari. Selama tahapan tersebut, diharapkan semua masyarakat pemilih, yang sudah mempunyai hak pilih, aktif untuk mencari dan mendapatkan informasi yang berkaitan tentang visi dan misi partai peserta pemilu, rekam jejak para calon angggota legislatif, calon Presiden, rekam jejak partai Politik serta semua hal yang diperlukan oleh masyarakat pemilih sebelum menentukan hak suaranya di bilik suara, 14 Februari 2024 yang akan datang. Partisipasi politik masyarakat (society participation) mempunyai arti sangat penting di negara-negara demokratis, karena tingkat partisipasi politik masyarakat dapat dipakai sebagai acuan untuk menilai tingkat dukungan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah (government of policy). Bahkan dapat dikatakan bahwa tingkat partisipasi politik masyarakat akan menentukan apakah suatu pemerintah legitimated atau tidak. Besarnya partisipasi masyarakat akan sangat dipengaruhi oleh tingkat kesadaran hukum dan politik masayarakat dalam suatu negara. Partisipasi politik sering diartikan sebagai keikutsertaan masyarakat secara aktif dalam kehidupan politik yang mencakup kegiatan memilih pimpinan negara dan turut nmempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy) dengan cara memberikan suara dalam Pemilu, menghadiri rapat-rapat terbatas, tertutup, rapat umum, menjadi anggota partai politik, atau kelompok kepentingan tertentu, mengadakan hubungan dengan pejabat atau anggota parlemen, dan sebagaimananya (Miriam Budiharjo;”Partisipasi dan Partai Politik, sebuah bunga rampai, Gramedia, Jakarta,1981,hal 1). Partisipasi Politik biasanya dilakukan warga negara secara perseorangan maupun kelompok dengan maksud ingin mempengaruhi pembuatan keputusan/kebijakan pemerintah. Partisipasi politik dapat dilakukan secara; terorganisir atau spontan, mantap atau sporadic, damai atau kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak efektif. Dalam kaitan ini, Huntington dan Nelson, menyatakan: “ By political participation we mean activity by private citizen desihned to influence government decition making. Participation my be individual or collective, organized or spontaneous,sustained or sporadic, peaful or violent,legal or illegal, efffetive or ineffective” (Samuel P Huntiington & Joan M. Nelson,” No Easy Choice Political participation in Developing Countries, Cambridge , Harvard University Press, 1977) Paralel dengan kesadaran hukum masyarakat, maka ada kesadaran lain yang mempengaruhi partisipasi politik masyarakat, yaitu kesadaran politik. Tingkat kesadaran politik masyarakat, akan menentukan bentuk dan corak tanggapan/respons masyarakat terhadap kebijakan publik. Senada dengan kesadaran hukum, kesadaran politik meliputi pengetahuan tentang hak-hak dan kewajiban politik, penghayatan terhadap hak hak dan kewajiban politik, ketaatan terhadap aturan dalam kehidupan berpolitik. Bisa kita gambarkan secara nyata, bahwa partisipasi masyarakat atau respons masyarakat terhadap implikasi pembangunan dan kebijakan publik merupakan suatu yang pasti terjadi di sebuah negara yang menganut azas demokrasi. Semakin besar partisipasi masyarakat, akan semakin meningkat pula kualitas demokrasi yang dihasilkan karena partisipasi dan respons masyarakat haruslah didasarkan pada kesadaran hukum dan kesadaran politik yang tinggi agar partispasi dan respons masyarakat bersifar konstruktif dan bertanggung jawab. Artinya, masyarakat berpatisipasi memilih dalam Pemilu didasarkan pada alasan-alasan yang rasional, tidak pragmatis dan semata-mata demi untuk mencapai tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat yang adil makmur, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta didasarkan pada ketaatan pada regulasi, rule of the game dan norma norma lain yang mengikat kita, sehingga partispasi masyarakat sudah mengarah kepada partispasi masyarakat yang subtansial, tidak semata-mata prosedural saja. Dalam implementasinya di Pemilihan Umum, kita mengajak Calon dan masyarakat untuk menjauhi perbuatan money politic (politik uang) dan black campaig (kampanye hitam). Karena perbuatan perbuatan terebut merupakan kejahatan politik. Pemilu 2019, partsipasi masyarakat mencapai angka diatas 89% dari target 75,5% angka nasional. Dan jika target angka partisipasi masyarakat pada Pemilu 2024 yang akan datang masih sama pada pemilu 2019, maka sangat mungkin target angka partisispasi pemilih akan tercapai. Hal ini bisa dilihat dari dua peristiwa hajatan Pemilihan, yaitu Pemilu 2019 yang mencapai angka nasional diatas 80% dan Pilkada 2020 yang juga mencapai angka diatas 80%. Itu saja, jumlah pemilih yang tidak ditemukan, dan mengembalikan kartu undangan memilih tetap dihitung sebagai pemilih potensial. Jika hal tersebut dipakai sebagai variabel pengurang DPT, maka tingkat partisipasi masyarakat bisa mendekati angka 90%. Pemilihan umum yang berkualitas linier dengan pemilihan umum yang demokratis. Sebab, pemilihan umum yang tidak demokratis menjadikan proses tidak bermakna dan tidak berkualitas. Menurut Axel Hadenius (1992), suatu pemilihan umum dapat dikatakan sungguh-sungguh demokratis apabila memenuhi tiga kriteria, yatni(1) keterbukaan;(2) ketepatan; dan(3) elektifitas. (Axel Hadenius, Democracy and Development, (Cambridge: Cambridger University Press,1992). Terbuka berarti pemilu harus bersifat terbuka bagi setiap warga Negara. Prinsip ini dikenal dengan hak memilih universal (universal suffrage). Ketepatan mengandung arti bahwa segala proses yang berkaitan dengan Pemilu, mulai dari pendaftaran partai politik peserta pemilu, verifikasi partai politik, kampanye, pelaksanaan pemungutan suara, sampai perhitungan suara, harus dilakukan secara tepat dan proporsional. Semua yang terlibat dalam pemilu harus mendapatkan perlakukan hukum yang sama (equality before the law). Elektifitas berarti jabatan politik harus diisi semata-mata melalui pemilu, tidak dengan cara-cara lain, seperti pengangkatan dan penunjukan. Dengan demikian, maka untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas, diperlukan kerjasama seluruh komponen bangsa yang terlibat langsung maupun tidak langsung atas keberlangsungan pemilu tersebut. Tidak hanya KPU, tetapi seluruh stakeholder bangsa dan Negara ini memikul tanggungjawab yang sama sama sesuai porsinya masing-masing. Meningkatkan angka partispasi masyarakat dalam Pemilu merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh KPU dan jajarannnya sampai ke Kabupaten/Kota. Dan ini tugas berat yang harus dijalankan dan diperlukan banyak tindakan agar target angka partisipasi pemilu 2024 bisa tercapai, sebagaimana pemilu 2019 yang lalu. Menggerakkan semua semua segmen masyarakat, membentuk relawan demokrasi, melakukan sosialisasi yang masih, pendidikan pemilih yang terstruktur, komprehensif, tepat sasaran dan tepat waktu. Sosialisasi, pendidikan Pemilih dan Tatakelola Pemilihan Umum yang semakin baik dan meningkat kualitasnya, akan secara bersama-sama akan bisa menciptakan pemilihan umum yang lebih berkualitas. Berkualitas dari sisi proses dan berkualitas dari sisi hasil. Berkualitas tidak hanya secara prosedural, tetapi juga secara subtansial. Sekian dan terima kasih.
Oleh: Hastin Atas Asih KPU Kabupaten Demak Butuh ketelatenan, keseriusan, koordinasi, kerja sama, kreativitas dan inovasi dalam melaksanakan kegiatan pemutakhiran data pemilih berkelanjutan (PDPB). Dalam melaksanakan kegiatan yang bertujuan memperbarui data pemilih guna mempermudah proses pemutakhiran data pemilih pada pemilu/pemilihan ini memang membutuhkan kerja ekstra penyelenggara pemilu. Karena, kegiatan ini dilaksanakan di luar tahapan pemilu/pemilihan (post election) di mana pada masa itu Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten/Kota sedang tidak memiliki badan ad hoc baik di tingkat kecamatan maupun desa/kelurahan. PDPB merupakan salah satu sistem penyusunan daftar pemilih di Indonesia yang dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu dengan cara memperbarui data pemilih hasil pemilu/pemilihan sebelumnya secara berkelanjutan. Sistem ini dikenal dengan istilah continuous list, dan mulai diterapkan sejak tahun 2017. Pelaksanaan sistem ini mengacu pada Pasal 204 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang berbunyi “KPU Kabupaten/Kota melakukan pemutakhiran data Pemilih berdasarkan daftar pemilih tetap Pemilu terakhir yang dimutakhirkan secara berkelanjutan”. Di Undang-Undang tentang Pemilu tersebut juga diatur tentang kewajiban bagi KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk melaksanakan pemutakhiran dan memelihara data pemilih secara berkelanjutan dengan memperhatikan data kependudukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Secara berurutan aturan tersebut termaktub pada pasal 14 huruf (l), pasal 17 huruf (l), dan pasal 20 huruf (l). Terkait teknis pelaksanaan PDPB awalnya diatur dalam Surat Dinas KPU RI Nomor 132/PL.02-SD/01/KPU/II/2021 perihal Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan Tahun 2021 sebagaimana telah diubah dengan Surat Dinas KPU Nomor 366/PL.02-SD/01/KPU/IV/2021. Dalam surat dinas tersebut disebutkan bahwa PDPB dilakukan secara berkala dengan instansi-instansi terkait, di antaranya instansi pemerintah daerah yang menangani administrasi kependudukan, kematian/pemakaman, TNI/Polri, pengadilan setingkat dan pada layanan data pemilih di tingkat kabupaten/kota. Kemudian KPU menetapkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan. Penetapan PKPU ini pada intinya mempertegas surat dinas sebelumnya, dan secara teknis diatur lebih rinci. Pada PKPU 6 Tahun 2021 diatur bahwa pelaksanaan PDPB berjenjang dilakukan dengan cara memutakhirkan dan memelihara data pemilih secara berkesinambungan dengan memperhatikan data kependudukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam proses pelaksanaan PDPB dilaksanakan rapat koordinasi dengan lembaga terkait seperti Bawaslu, Kementrian/Lembaga/Instansi lain (instansi pemerintah daerah yang menangani administrasi kependudukan, kematian/pemakaman), TNI, dan POLRI. Rapat koordinasi ini dilaksanakan secara berkala minimal enam bulan sekali untuk KPU dan KPU Provinsi, dan minimal tiga bulan sekali untuk KPU Kabupaten/Kota. Pengaturan tentang perlu dilaksanakannya kegiatan rapat koordinasi adalah hal yang sangat penting. Karena pada kegiatan tersebut akan disampaikan hasil rekapitulasi PDPB serta akan disampaikan masukan terkait data-data yang dibutuhkan untuk PDPB. Seperti masukan pemilih baru yang dapat berasal dari pemilih pemula di mana yang bersangkutan pada saat pendataan sudah memasuki usia 17 tahun, maupun pemilih pemula karena alih status dari TNI/POLRI menjadi pensiunan. Begitu pula untuk pemilih tidak memenuhi syarat (TMS) karena meninggal dunia, pemilih yang berubah status menjadi anggota TNI atau POLRI, serta pemilih yang dicabut hak pilihnya. Selain itu, pemilih yang pindah domisili. Di PKPU Nomor 6 Tahun 2021 juga diatur tentang rekapitulasi PDPB tingkat KPU kabupaten/kota. Dijelaskan di Pasal 22 ayat 2 bahwa KPU Kabupaten/Kota menyampaikan data rekapitulasi PDPB dalam rapat koordinasi PDPB setiap tiga bulan. Sedangkan di Pasal 27 ayat 1 disebutkan bahwa KPU Provinsi melakukan rekapitulasi PDPB tingkat provinsi setiap bulan berdasarkan rekapitulasi PDPB dari KPU Kabupaten/Kota. Artinya, Rekapitulasi hasil PDPB dilaksanakan KPU Kabupaten/Kota setiap bulan dan selanjutnya dilaporkan ke KPU Provinsi untuk direkap di tingkat provinsi. Kemudian setiap tiga bulan dilakukan rekapitulasi kembali untuk disampaikan dalam rapat koordinasi yang dihadiri instansi-instansi terkait, di antaranya instansi pemerintah daerah yang menangani administrasi kependudukan, kematian/pemakaman, TNI/POLRI, pengadilan setingkat dan pada layanan data pemilih di tingkat kabupaten/kota. . Tak Semua Data Lengkap Teknis pelaksanaan PDPB yang diatur oleh KPU sudah sangat komprehensif. Seperti perlunya rapat koordinasi dengan instansi terkait untuk mendapatkan masukan data sebagai bahan PDPB. Pengaturan ini memang sangat dibutuhkan. Namun dalam pelaksanaannya tentu saja tidak selalu mulus. Memang beberapa lembaga atau instansi responsif dalam memberikan data yang dibutuhkan. Namun tak jarang pula beberapa instansi justru sebaliknya karena merasa kesulitan untuk memenuhi kelengkapan elemen data yang dibutuhkan KPU. Ada pula beberapa lembaga yang karena faktor kesibukan serta minimnya SDM tidak bisa memenuhi data yang dibutuhkan. Pasal 201 ayat (8) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebenarnya cukup memberikan kelonggaran bagi KPU untuk mendapatkan data sebagai bahan PDPB. Disebutkan di pasal tersebut bahwa Pemerintah memberikan data kependudukan yang dikonsolidasikan setiap enam bulan kepada KPU sebagai bahan tambahan dalam pemutakhiran data pemilih. Artinya, KPU akan mendapatkan tambahan data untuk bahan PDPB dari instansi yang menangani kependudukan setiap enam bulan. Memang rentang waktu yang diatur dalam undang-undang tersebut cukup jauh dibandingkan pelaksanaan rekapitulasi PDPB yang dilaksanakan KPU Kabupaten/Kota. Di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 disebutkan bahwa instansi yang menangani kependudukan memberikan data yang dikonsolidasikan setiap enam bulan, sedangkan KPU Kabupaten/Kota melaksanakan PDPB setiap satu bulan. Meskipun rentang waktunya cukup lama, namun apabila data tersebut disampaikan tepat waktu sebenarnya cukup membantu KPU Kabupaten/Kota dalam melaksanakan PDPB. Tetapi fakta di lapangan tak semudah itu. Alih-alih tersampaikan tepat waktu, terkadang data tersebut tidak bisa didapatkan karena ada beberapa hal yang menjadi alasan. Banyak Jalan Menuju Roma Berbagai kendala sangat berkemungkinan terjadi dalam kegiatan PDPB. Namun hal tersebut tak seharusnya membuat patah arang penyelenggara. Banyak jalan menuju roma. Kreasi, inovasi, serta gagasan perlu dicetuskan agar PDPB bisa tetap berjalan. Dengan begitu data pemilih tetap terpelihara meski tidak dalam masa tahapan pemilu/pemilihan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan di antaranya adalah dengan membentuk relawan PDPB baik di tingkat desa maupun kecamatan. Relawan PDPB tersebut dapat berasal dari mantan badan penyelenggara ad hoc pemilu/pemilihan maupun sekretariat badan penyelenggara ad hoc pemilu/pemilihan yang mayoritas berasal dari perangkat desa dan pegawai kecamatan dan biasanya langsung bersentuhan dengan lembaga yang menguasai data di wilayahnya. Pendekatan lebih progresif juga bisa dilakukan ke beberapa lembaga, untuk memberikan pemahaman terkait data yang dibutuhkan serta membantu secara teknis apabila memang dibutuhkan. Koordinasi dengan lembaga pendidikan (SMA/SMK/MA sederajat), atau instansi yang menaungi lembaga pendidikan seperti Dinas Pendidikan atau Kementerian Agama juga perlu dilakukan karena basis pemilih pemula banyak berasal dari lembaga tersebut. Koordinasi lainnya juga bisa dilakukan ke pondok pesantren, partai politik maupun organisasi kemasyarakatan. KPU Kabupaten/Kota juga bisa melakukan sosialisasi melalui pemanfaatan papan pengumuman, website, media sosial, media massa cetak dan elektronik. Kerja sama sosialisasi PDPB dengan pemerintah daerah juga dapat dilaksanakan, seperti pengintegrasian sosialisasi PDPB dengan kegiatan yang diselenggarakan pemerintah daerah baik secara tatap muka maupun melalui media online, seperti website dan media sosial milik pemerintah daerah. Solusi Masalah DPT PDPB merupakan salah satu upaya KPU untuk menyelesaikan akar masalah Daftar Pemilih Tetap. Dengan PDPB diharapkan data pemilih dapat dipastikan kualitasnya tetap baik meskipun tidak dalam penyelenggaraan pemilu/pemilihan. Jika data pemilih hasil PDPB baik dan dibuat berdasarkan prinsip komprehensif, akurat dan mutakhir, maka ke depan akan mempermudah proses pemutakhiran data dan penyusunan daftar pemilih pada pemilu/pemilihan berikutnya. Karena itu seyogyanya kegiatan PDPB digarap secara serius dan telaten. Penguatan koordinasi juga sangat penting, karena keberhasilan PDPB tidak dapat dilaksanakan sendiri oleh KPU yang notabene tidak memiliki badan penyelenggara ad hoc karena sedang tidak menyelenggarakan pemilu/pemilihan. (Penulis adalah Anggota KPU Kabupaten Demak Divisi Hukum dan Pengawasan)